Kamis, 21 April 2011

Hukum Aqiqah ketika sudah Dewasa

Mengenai permasalahan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari dua fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berikut dalam Liqo-at Al Bab Al Maftuh. Semoga bermanfaat.
[Pertama]
Soal:
Ada seorang ayah yang memiliki sepuluh anak perempuan dan mereka semua belum diaqiqohi, namun sekarang mereka sudah berkeluarga. Apa yang mesti dilakukan oleh anak-anaknya? Apa sebenarnya hukum aqiqah?Apakah betul apabila seorang anak tidak diaqiqohi, maka ia tidak akan memberi syafaat pada orang tuanya?
Jawab:
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad. Aqiqah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing. Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga diperbolehkan. Anjuran aqiqah ini menjadi kewajiban ayah (yang menanggung nafkah anak, pen). Apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah (misalnya tujuh hari kelahiran, pen), orang tua dalam keadaan faqir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah, orang tua dalam keadaan berkecukupan, maka aqiqah masih tetap jadi kewajiban ayah, bukan ibu dan bukan pula anaknya.
[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 214, no. 6]
[Kedua]
Soal:
Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?
Jawab:
Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran, pen), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.
Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran, kemudian hari keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.
Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak menambahnya dari jumlah ini.
[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6]
Pelajaran Penting Seputar Aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad dan seharusnya tidak ditinggalkan oleh orang yang mampu melakukannya.
Aqiqah bagi anak laki-laki afdholnya dengan dua ekor kambing, namun dengan seekor kambing juga dibolehkan. Sedangkan aqiqah bagi anak perempuan adalah dengan seekor kambing.
Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran, kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yg penting adalah aqiqahnya dilaksanakan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)
Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)
Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang yang mampu. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)
Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa.
Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)
Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]
Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]
Demikian pembahasan ringkas mengenai aqiqah. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.
Baca Selanjutnya...

Rabu, 20 April 2011

Hati-hatilah Wahai Saudariku Dengan Propaganda Yang Berakhir Duka

Bismillahirrohmanirrohim
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam berkata :
المرءة عورة إذا خرحت إستشرفها الشيطان
“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaithon menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (At Tirmidzi, dishohihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shohihul Musnad, 2/36).

Duhai Saudariku, saat ini wanita telah menjadi barang dagangan yang murah, mereka yang merelakan dirinya menjadi komoditas. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, yang penting bisa mendatangkan rupiah. Wallohu musta’an

Fenomena iklan, pasti di sana ditayangkan sosok wanita. demi memuaskan nafsu dan syahwat. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang.

Di manakah gerangan orang-orang yang menuntut kebebasan kaum wanita ? slogan persamaan gender, menuntut kebebasan wanita padahal sebenarnya bukanlah karena simpati atau iba terhadap wanita, justru mereka menuntut kebebasan itu agar dapat menikmati wanita ! Namun tatkala engkau sudah berumur senja apakah mereka masih mau memajang fotomu?!

Kalian pasti tahu, bagaimana para wanita diperdagangkan oleh orang-orang yang menuntut kebebasannya? Berapa banyak sudah wanita yang terenggut kesuciannya dan ditimpa kehancuran dalam kehidupannya?

Perangkap yang membuatmu terpedaya. kemudian akhir dari sebuah kecantikan hanyalah bangkai yang menjijikkan dalam kegelapan kubur dan secarik kain kafan, beserta cacing-cacing yang merasa iri padamu dan merampas kecantikan itu darimu.

Saudariku muslimah, hendaknya engkau waspada akan bahaya, segala yang berselubung namun menyembunyikan sesuatu yang nista.

Ini semua merupakan hasil (baca: akibat) dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak. Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan (syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam).

Para misionaris emansipasi wanita pun masih belum puas terhadap apa yang telah ditetapkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Hakim dalam islam, Mereka mempersoalkan, menentangnya dan mencela Islam dengan slogan-slogan yang mereka suarakan; “Menuntut persamaan, kebebasan, dan keadilan”. Apapun yang bisa dijadikan dalil diangkatlah sebagai dalil, tidak peduli haq ataukah batil.

Padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan :
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi kaum lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istrinya).” (QS.Al Baqoroh : 228).
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Alloh telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa`: 34)

Demikian pula perkataan Alloh Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى
“Dan anak laki-laki itu tak sama dengan anak wanita.” (QS. Ali ‘Imron: 36)

Al-Imam Ibnu Katsir rohimahullohu berkata : “Yaitu dalam hal kekuatan, kesungguhan/ketabahan dalam beribadah dan mengurus...” (Tafsir Ibnu Katsir).

Mereka ‘memelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi menghalalkan tuntutannya. Betapa jeleknya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah perkataan Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqoroh : 228).

Mereka beralasan dengan ayat ini bahwa Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam semua haknya.

Padahal ayat di atas masih ada kelanjutannya yang jelas-jelas menunjukkan keutamaan kaum lelaki (para suami) atas kaum wanita (para istri). Yaitu :
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“…Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”

Adanya perbedaan yang mencolok antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam banyak halnya (di antaranya penampilan fisik) yang menjadikan hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
“Dan apakah patut (menjadi anak Alloh) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran?!” (QS. Az-Zukhruf : 18)

Al-Imam Asy-Syaukani rohimahullohu berkata :

“Abd bin Humaid meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma tentang tafsir “orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran” bahwa dia adalah kaum wanita. Maka dijadikanlah berbeda antara penampilan mereka (kaum wanita) dengan penampilan kaum lelaki, berbeda pula dalam hal warisan dengan dikuranginya jatah mereka daripada jatah kaum lelaki, demikian pula dalam hal persaksian. Alloh Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka untuk duduk (tidak ikut berperang), maka dari itu mereka disebut khawalif (orang-orang yang tidak ikut berperang).” (Fathul Qodir, 4/659)

Kemudian di antara tanda-tanda kekuasaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah diciptakannya untuk kaum lelaki para istri dari jenis mereka (manusia) juga, supaya kaum lelaki cenderung dan merasa tentram kepadanya serta Alloh Subhanahu wa Ta’ala jadikan antara keduanya rasa kasih dan sayang. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS.Ar-Rum: 21)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan wanita diantaranya untuk kaum lelaki dan sebagai tempat untuk merasakan ketentraman dan kasih sayang, maka berarti posisi kaum lelaki di atas kaum wanita. Sehingga ketika seorang wanita (istri) menganggap bahwa dirinya sepadan dengan suaminya dalam segala hak, atau merasa lebih daripada suaminya maka tak akan tercipta lagi suasana tentram dan rasa kasih sayang di antara mereka itu.

Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ juga adalah perkataan Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal sholih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 97).

Mereka berdalil dengan ayat ini bahwa Alloh Ta’ala memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita yang beriman dalam hal pahala, atas dasar itulah tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan wanita dalam hak maupun kewajiban kecuali satu kelebihan yaitu memberi nafkah yang merupakan kewajiban laki-laki.

Pendalilan mereka tentang ayat di atas tidaklah benar, bahkan bertentangan dengan syariat dan akal yang sehat, sebagaimana penjelasan berikut ini :

Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Alloh Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Alloh telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa`: 34)

Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya; fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
“Alloh menjadikan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari para istri itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rizki dari yang baik-baik.” (QS. An-Nahl: 72)

Balasan mulia bagi orang-orang beriman lagi beramal sholih yang disebutkan dalam Al-Qur`an adalah (bidadari) para istri yang suci di dalam Al-Jannah. Hal ini menunjukkan betapa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita baik di dunia maupun di akhirat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata :
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal sholih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25)
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا. وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَكَأْسًا دِهَاقًا. لاَ يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلاَ كِذَّابًا
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35)

Wanita adalah orang-orang yang kurang dalam hal agama dan akal, sehingga tidaklah bisa disamakan dengan laki-laki. Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata :
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا.
“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang menghuni neraka. Mereka berkata: ‘Dengan sebab apa wahai Rosululloh?’ Beliau menjawab : ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan seringkali ingkar terhadap kebaikan (yang diberikan oleh para suami). Aku belum pernah melihat di antara orang-orang yang kurang dalam hal agama dan akal yang dapat menghilangkan akal seorang lelaki (suami) yang tangguh melainkan seseorang dari kalian.’ Mereka berkata: ‘Sisi apakah yang menunjukkan kurangnya agama dan akal kami wahai Rosululloh?’ Beliau menjawab : ‘Bukankah persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Mereka berkata: ‘Ya’, kemudian beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata : ‘Maka itulah di antara kekurangan akalnya. Bukankah ketika datang masa haidnya seorang wanita tidak melakukan sholat dan puasa?’ Mereka berkata: ‘Ya’, maka Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata : ‘Maka itulah di antara kekurangan agamanya.” (Bukhori dalam Shohihnya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri rodhiyallohu 'anhu).

Asy Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholi hafidhohulloh berkata :

“Dalam hadits ini terdapat kejelasan tentang kurangnya agama dan akal wanita. Dan yang nampak bahwa kekurangan ini merupakan salah satu sebab banyaknya melaknat dan terjatuhnya mereka ke dalam perbuatan ingkar terhadap kebaikan yang diberikan para suami. Sebagaimana pula dalam hadits ini terdapat kejelasan bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang lelaki, yang di antara sebabnya adalah kurangnya akal pada mereka.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam).

Nasehatku wahai saudariku muslimah..

Ingatlah dengan pemberitaan Nabi shollallohu 'alaihi wasallam :
إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاء
"Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita." (Muslim no. 2738)

Bila demikian adanya pantaslah bagi seorang wanita yang mencari keselamatan diri dari adzab dengan menjaga kehormatan diri, waspada dari segala propaganda menyesatkan dan menghiasinya dengan sifat malu dan taqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Wallohu a’lam bish showab
Baca Selanjutnya...

Selasa, 19 April 2011

Fatawa Ulama Seputar Orang yang Berhukum Dengan Selain Hukum Allah

Berikut penyebutan nama beserta perkataan sebagian para ulama yang menyebutkan adanya rincian dalam masalah hukum orang yang berhukum dengan selain hukum Allah.
  1. Imam Ibnul Jauzy rahimahullah
    Beliau berkata dakam Zadul Masir (2/366), “Pemutus perkara dalam masalah ini adalah bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena juhud terhadapnya padahal dia mengetahui bahwa Allah menurunkannya, seperti yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi maka dia kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena condong kepada hawa nafsu tanpa juhud maka dia adalah orang yang zholim lagi fasik”.
  2. Imam Al-Qurthuby rahimahullah
    Beliau berkata, “Dan penjelasan hal ini adalah bahwa seorang muslim jika dia mengetahui hukum Allah -Ta’ala- pada suatu perkara lalu dia tidak berhukum dengannya maka : kalau perbuatan dia ini karena juhud maka dia kafir tanpa ada perselisihan, dan jika bukan karena juhud maka dia adalah pelaku maksiat dan dosa besar karena dia masih membenarkan asal hukum tersebut dan masih meyakini wajibnya penerapan hukum tersebut atas perkara itu, akan tetapi dia berbuat meksiat dengan meninggalkan beramal dengannya”. Lihat Al-Mufhim (5/117).
  3. Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
    Beliau berkata dalam Minhajus Sunnah (5/130) setelah menyebutkan firman Allah -Ta’ala- dalam surah An-Nisa` ayat 65, “Maka barangsiapa yang tidak komitmen dalam menerapkan hukum Allah dan RasulNya pada perkara yang mereka perselisihkan maka sungguh Allah telah bersumpah dengan diriNya bahwa orang itu tidak beriman, dan barangsiapa yang komitmen kepada hukum Allah dan RasulNya secara bathin dan zhohir akan tetapi dia berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya (dengan meninggalkan hukum Allah-pent.) maka yang seperti ini kedudukannya seperti para pelaku maksiat lainnya (yakni masih beriman-pent.)”. Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (3/267) dan (7/312)
  4. Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziah rahimahullah
    Beliau menyatakan dalam Madarijus Salikin (1/336), “Dan yang benarnya bahwa berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan (hukumnya) mencakup dua kekafiran: ashghar (kecil) dan akbar (besar) disesuaikan dengan keadaan orang yang berhukum tersebut. Jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan dalam kejadian itu tapi dia berpaling darinya (hukum Allah) karena maksiat dan mengakui bahwa dirinya berhak mendapatkan siksaan, maka ini adalah kafir ashghar. Dan jika dia meyakini bahwa dia (berhukum dengan hukum Allah-pent.) tidak wajib dan bahwa dia diberikan pilihan dalam hal itu (maksudnya dia meyakini bahwa boleh memilih antara menerapkan hukum Allah atau menerapkan hukum selainnya, pent.) padahal dia tahu bahwa itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kafir akbar. Dan jika dia tidak mengetahuinya (hukum Allah) dan tersalah di dalamnya (memberi keputusan) maka ini (hukumnya) adalah orang yang tidak sengaja, baginya hukum orang-orang yang sengaja”.
  5. Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah
    Setelah menjelaskan pembagian kekafiran seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qoyyim di atas, beliau dalam Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 323-324 berkata, “… dan hal ini disesuaikan dengan keadaan orang yang berhukun tersebut : Jika dia meyakini bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah tidaklah wajib dan bahwa dia diberikan pilihan dalam hal itu atau karena dia menghinakannya (hukum Allah) dalam keadaan dia tetap meyakini bahwa hal itu adalah hukum Allah, maka ini adalah (kekafiran) akbar. Dan jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan dan dia mengetahui hal itu (hukum Allah) dalam perkara ini, tapi dia berpaling darinya bersamaan dengan itu dia mengakui bahwa dirinya berhak mendapatkan siksaan maka dia adalah pelaku maksiat dan dikatakan kafir secara majaz (ungkapan) atau kufur ashghar. Dan jika dia tidak mengetahui hukum Allah di dalamnya (perkara tersebut) padahal dia telah mengerahkan seluruh usaha dan kemampuannya untuk mengetahui hukum perkara itu tapi dia salah, maka dia adalah orang yang tidak sengaja bersalah, baginya satu pahala atas ijtihadnya dan kesalahannya dimaafkan”.
  6. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy rahimahullah
    Beliau berkata, “Maka berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan adalah termasuk amalan orang-orang kafir. Kadang mengeluarkan pelakunya dari agama jika dia meyakini halal dan bolehnya hal tersebut, dan kadang hanya merupakan dosa dari dosa-dosa besar dan termasuk perbuatan kekafiran (kufur ‘amaly/kecil-pent.) dan berhak mendapatkan siksaan –lalu beliau membawakan ayat ke 44 surah Al-Ma`idah di atas-. Ibnu ‘Abbas berkata : “Kekafiran di bawah kekafiran, kefasikan di bawah kefasikan dan kezholiman di bawah kezholiman”. Maka dia (berhukum dengan selain hukum Allah) adalah kezholiman besar jika menghalalkannya dan merupakan dosa yang sangat besar ketika mengerjakannya tapi tidak menghalalkannya”. Taysirul Karimir Rahman (2/296-297).
  7. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh rahimahullah
    Dalam Majmu’ Fatawa beliau (1/80) beliau berkata, “Dan demikian pula penerapan makna (syahadat) ‘Muhammad Rasulullah’ berupa (wajibnya) menerapkan syari’at beliau dan terikat dengannya serta membuang semua yang menyelisihinya berupa undang-undang, aturan-aturan dan yang lainnya yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah atasnya. Dan orang yang berhukum dengannya (undang-undang buatan) atau berhukum kepadanya dalam keadaan meyakini benar dan bolehnya hal itu maka dia adalah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari agama, dan jika dia melakukannya tanpa meyakini (benar) dan bolehnya hal itu maka dia kafir dengan kekafiran ‘amaly yang tidak mengeluarkan dari agama”.
  8. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy rahimahullah
    Beliau berkata dalam Adhwa`ul Bayan (2/104), “… Dan barangsiapa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan karena menentang para rasul sebagai pembatalan atas hukum-hukum Allah. maka kezholimannya, kefasikannya dan kekafirannya mengeluarkan dari agama. Dan barangsiapa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan dalam keadaan meyakini bahwa dia mengerjakan suatu perkara yang haram dan perbuatan yang keji, maka kekafirannya, kezholimannya dan kefasikannya tidak mengeluarkan dia dari agama”. Lihat juga pada (2/109).
  9. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
    Beliau berkata, “Barangsiapa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, maka dia tidak lepas dari empat keadaan:
    1. Siapa yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya karena dia lebih afdhol daripada syari’at Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran akbar.
    2. Siapa yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya karena dia sama/setara dengan syari’at Islam, maka berhukum dengannya boleh dan berhukum dengan syari’at (Islam) juga boleh”, maka dia kafir dengan kekafiran akbar.
    3. Siapa yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya sedangkan berhukum dengan syari’at Islam lebih afdhol, akan tetapi berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan adalah boleh”, maka dia kafir dengan kekafiran akbar.
    4. Dan siapa yang mengatakan, “Saya berhukum dengannya” tapi dia meyakini bahwa tidak boleh berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, dan dia menyatakan bahwa berhukum dengan syari’at Islam lebih afdhol serta tidak boleh berhukum dengan selainnya, akan tetapi dia bergampangan (dalam melakukan maksiat) atau dia melakukannya karena perintah dari pemerintahnya, maka dia kafir dengan kekafiran ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama dan tergolong ke dalam dosa besar yang paling besar”. Qodhiyatut Takfir Baina Ahlis Sunnah wal Firoq Adh-Dhulal hal. 72.
  10. Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr hafizhohullah
    Beliau ditanya di Mesjid Nabawy dalam pelajaran Syarh Sunan Abi Daud pada tanggal 16 Dzul Qo’dah 1420 H, “Apakah mengganti syariat Islam dengan undang-undang buatan adalah perbuatan kekafiran pada dzatnya ataukah (pengkafirannya) butuh kepada penghalalan (perbuatan itu) dengan hati dan keyakinan akan bolehnya hal itu? Dan apakah ada perbedaan antara berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan sebanyak satu kali dengan menjadikan undang-undang (buatan) sebagai syari’at umum dalam keadaan meyakini tidak bolehnya hal perbuatan itu?”
    Maka beliau menjawab, “Yang nampak bahwa tidak ada perbedaan antara berhukum (dengan selain hukum Allah-pent.) dalam satu masalah atau sepuluh masalah atau seratus atau seribu –atau kurang atau lebih dari itu-, tidak ada perbedaan, selama seseorang itu masih menganggap dirinya bersalah dan bahwa dirinya telah melakukan perkara yang mungkar dan bahwa dirinya melakukan maksiat dan dia takut terhadap dosanya, maka ini kekafiran di bawah kekafiran. Adapun jika dia menghalalkan –walaupun dalam satu masalah, dia menghalalkan di dalamnya berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, dia menganggapnya halal- maka dia kafir (keluar dari Islam-pent.)”.
  11. Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah
    Beliau berkata dalam kitab Al-Makhroj minal Fitnah hal. 82, “Jika seseorang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, maka dia tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan beberapa syarat:
    1. Dia tidak terpaksa.
    2. Dia mengetahui bahwa hukum tersebut tidak termasuk dari apa yang Allah turunkan.
    3. Dia beranggapan bahwa hukum tersebut sama atau (bahkan) lebih baik daripada hukum Allah”.
  12. Syaikh Sholeh bin Sa’ad As-Suhaimy hafizhohullah
    Beliau berbicara panjang lebar tentang masalah ini dalam sebuah kaset yang berjudul Ajwibah ‘Ala As`ilatin Muhimmah yang kesimpulannya bahwa manusia dalam menghukumi suatu kejadian ada beberapa macam:
    1. Seseorang yang mengetahui kebenaran (hukum Allah) dan dalilnya lalu dia berhukum dengannya, maka orang inii mendapatkan 2 pahala, sebagaimana yang ma’ruf dalam sebuah hadits.
    2. Seseorang yang berijtihad untuk mencari kebenaran dan dia memang pantas untuk berijtihad lalau dia salah dalam hukumnya, maka juga tetap mendapatkan satu pahala.
    3. Seseorang yang berijtihad untuk mencari kebenaran padahal dia belum pantas untuk berijtihad karena kurangnya ilmu yang ada pada dirinya, maka orang ini berdosa dan berbuat maksiat walaupun ternyata hukumnya benar dan sesuai dengan kebenaran.
    4. Seseorang yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan karena terpaksa atau di bawah tekanan, maka orang ini diberikan udzur dan tidak berdosa kecuali jika penerapan hukum selain Allah itu mengakibatkan terbunuhnya seseorang atau yang semisalnya. Jika mengakibatkan hal ini lalu dia tetap melakukannya maka dia berdosa akan tetapi tidak sampai kepada jenjang kekafiran, maka yang wajib baginya tidak melaksanakan hukum itu walaupun dirinya akan tertimpa sesuatu yang jelek.
    5. Seseorang yang mengetahui hukum Allah lalu dia tidak berhukum dengannya karena dikuasai oleh hawa nafsu atau karena mengharapkan sesuatu dari dunia atau atau untuk mencari perhatian pimpinannya atau karena meremehkan dan bergampang-gampangan dalam maksiat dan semacamnya akan tetapi dia tetap meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan bahwa dirinya sedang melakukan maksiat, maka orang ini berdosa besar walaupun ternyata keputusannya benar akan tetapi tidak mengeluarkannya dari Islam.
    6. Seseorang yang mengetahui hukum Allah dan mengetahui kebenarannya akan tetapi dia mendahulukan hukum selain Allah dan menyatakan bahwa sesungguhnya penerapan undang-undang buatan lebih afdhol atau setara dengan hukum Allah atau dia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah dengan menyatakan bahwa hukum Allah sudah tidak pantas untuk diterapkan di zaman ini atau dia menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara menerapkan hukum Allah atau hukum selainNya. Maka orang seperti inilah yang dikafirkan dan keluar dari Islam.
      Lalu beliau ditanya, “Sebagian manusia berkata : Saya akan menerapkan dan merinci seperti rincian di atas, akan tetapi pemerintah yang mengganti semua syari’at Allah, tidak mungkin dia mengganti semuanya kecuali karena dia meyakini kekurangan (syari’at Allah) atau (hukum selain Allah) lebih afdhol”?
      Jawab: “Kita tidak bisa mengharuskan yang demikian kecuali jika dia sendiri yang menegaskannya dengan ucapannya”.
      Penanya: “Sampai walaupun dia merubah semua syari’at Allah?”
      Jawab: “Demi Allah, kita tidak bisa mengharuskan hal itu, demi Allah, kita tidak bisa mengharuskan hal itu kecuali jika dia mengatakan bahwa penerapan syari’at (Islam) sudah tidak pantas atau meyakini kesetaraan (antara kedua hukum) atau menyatakan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah, maka orang ini dikafirkan”. –selesai secara ringkas-
  13. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rojihy hafizhohullah
    Soal: “Apa hukum syari’at kepada seorang hakim yang berhukum dengan hukum buatan Prancis (masuk di dalamnya semua undang-undang dan aturan-aturan yang dibuat oleh tangan-tangan makhluk), padahal diketahui dia masih mengaku muslim, sholat, berpuasa dan mengerjakan haji. Apa yang dikatakan terhadap (baca : hukum) orang yang seperti ini?”.
    Jawab: “Jika dia meyakini bolehnya berhukum dengan undang-undang Prancis maka dia kafir jika meyakini bolehnya, adapun jika dia tidak meyakini hal itu atau dia terkena suatu syubhat maka harus ditegakkan hujjah atasnya terlebih dahulu”. Dari kaset Syarh Nawaqidhul Islam.
  14. Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmy hafizhohullah
    Beliau menyatakan, “Dan (ketiga) ayat ini dibawa (pengertiannya) berdasarkan jeis-jenis manusia dalam berhukum dengan selain hukum Allah. Maka di antara mereka ada yang mengakui bahwa yang wajib adalah menerapkan hukum Allah akan tetapi kecintaan terhadap harta atau takut tekanan atau sentimen terhadap terdakwa atau karena hubungan baik dengan terdakwa atau karena menerima sogokan mendorong dirinya untuk berhukum dengan selain hukum Allah maka dia tidaklah kafir, dia hanyalah seorang yang fasik. Yang kafir hanyalah orang yang meyakini bahwa hukum selain Allah ‘Azza wa Jalla lebih baik dari hukum Allah, maka barangsiapa yang meyakini hal ini atau meyakini hukum selain Allah setara dengan hukum Allah maka dia dihukumi kafir keluar dari Islam”. -Selesai dengan ringkasan dari kaset yang berjudul Taujihat fil ‘Aqidah wal Manhaj wad Da’wah.
  15. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Nashir Alu ‘Ubaikan hafizhohullah
    Beliau berkata, “Maka orang yang berhukum dengan undang-undang buatan dan tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkannya dan mengeluarkannya dari Islam kecuali jika kita memeriksa keadaannya terlebih dahulu, apakah dia meyakini bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah? Ataukah dia tidak mengakui hukum Allah? Karena hal ini (kalau dia yakini-pent.) membuat dia kafir tanpa ada keraguan.
    Akan tetapi jika dia berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan karena syahwat dirinya atau untuk mendapatkan maslahat keduniaan atau takut akan (kehilangan) kedudukannya atau hukumnya tidak diterima (jika berhukum dengan hukum Allah-pent.), sedangkan dia tetap meyakini di dalam hatinya bahwa hukum Allah itu lebih baik, jika ada seseorang yang bersifat seperti ini maka kita tidak mengatakan dirinya kafir keluar dari Islam. Perumpamaannya seperti seorang hakim yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan karena sogokan, maka kaum muslimin telah bersepakat bahwa hakim yang seperti ini tidaklah kafir tapi pelaku dosa besar.
    Inilah pendapat yang paling benar di antara pendapat-pendapat ulama, seandainya tidak ada (penghalang kekafiran-pent.) kecuali sekedar adanya syubhat dalam pengkafirannya maka sungguh itu sudah cukup (untuk tidak mengkafirkanya-pent.)”. Dari kitab Al-Khawarij wal Fikrul Mutajaddid hal. 46.
wallahua'lam bissawab.
Baca Selanjutnya...

PacaranTerselubung antar aktivis Dakwah "Kok Bisa yaaaa??? "


Setiap manusia, ikhwan akhwat ataupun manusia biasa, pasti akan mengalami tiga jenis ujian dalam hidupnya. Meski kadarnya berbeda – beda bagi setiap orang. Lawan jenis, harta dunia dan status sosial. Ketiga jenis ujian inilah yang akan menjadi siklus tetap ujian bagi manusia. Sampai kapan ia akan terlepas dari ujian ini ? jawabnya adalah tatkala manusia itu telah menghembusan nafas terakhirnya.

Saat syetan sudah mulai putus asa, untuk menggoda para ikhwan atau akhwat bermaksiat secara terang – terangan. Nampaknya ujian jenis pertama inilah yang menjadi “momok” tersendiri bagi para aktivis dakwah yang masih berstatus mahasiswa. Bagaimana tidak ? interaksi yang begitu intens, pertemuan yang begitu sering, meski berlabel agenda dakwah tertentu, terkadang menjadi celah tersendiri bagi syetan untuk menggodanya dengan cara yang lain.

Belum lagi dengan kegiatan – kegiatan yang melibatkan interaksi dengan lawan jenis diluar kegatan – kegiatan berlabel dakwah. Rapat himpunan, rapat BEM, sampai pada mengerjakan tugas kelompok yang menjadi makanan sehari – hari bagi sebagaian mahasiswa pada prodi tertentu. Tentu berkikhtilat, bercampur baur, dengan lawan jenis adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari. Meskipun untuk hal yang terakhir, pendidikan, sebagaian ulama memafhumkan hal tersebut.

Fenomena – fenomena semacam inilah yang kemudian mengharuskan ana, antum, dan semua yang mengaku sebagai pengemban risalah Allah yang teguh memegang prinsip agama untuk memahami suatu ilmu tentang fiqh ikhtilat. Pengetahuan yang mendalam tentang hukum – hokum berinteraksi dengan lawan jenis sesuai dengan ajaran dien ini. Hal ini penting untuk difahami, agar kita tidak menjadi ragu – ragu dalam berinteraksi atau bahkan salah dalam menempatkan diri dalam sebuah keadaan.

Demikian juga dengan ikhtilat, seiring perkembangan zaman, ikhtilat maupun khalwat tak lagi mengharuskan dua fisik bertemu dalam satu lokasi. Cukuplah kiranya sms – sms kita kepada lawan jenis bukan mahram yang bisa membuat hati gelisah itu termasuk dalam kategori ikhtilat. Atau telfon – telfon berlebihan, chat – chat yang tiada guna dan tujuan, pun bisa dikategorikan dalam ikhtilat gaya baru.

Kebanyakan, hasil – hasil dari ikhtilat adalah timbulnya perasaan “deg – deg ser” kepada lawan jenis tersebut. Dalam bahasa lain dapat diterjemahkan menjadi, cinta, tresno atau apalah lain sejenisnya. Bagi kalangan aktivis perasaan cinta sebelum nikah banyak disebut dengan Virus Merah Jambu. Padahal warna merah jambu adalah warna yang indah dan cerah. Menurut ana kurang tepat jika virus yang bisa merusak ini disebut dengan Virus Merah Jambu. Ana menyebutnya sebagai Virus Panah Iblis karena virus ini lebih sering muncul karena pandangan yang tidak terjaga.

Dalam sebuah hadits Qudsi :

"Pandangan mata adalah panah beracun dari antara panah-panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku maka Aku ganti dengan keimanan yang dirasakan manis dalam hatinya." (HR. Al Hakim).

Seorang penyair berkata:

Setiap kejadian berawal dari pandangan dan api yang besar itu berasal dari percikan bunga api yang dianggap kecil

Berapa banyak pandangan mata itu mencapai kehati pemiliknya seperti busur dan tali busurnya

Selama seseorang hamba membolak-balikkan pandangannya menatap manusia,

dia berdiri di atas bahaya pandangan adalah kesenangan yang membinasakan,

hunjaman yang memudharatkan.”

(Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 234)


Berikut ini adalah pelanggaran-pelanggaran yang banyak dianggap remeh :

1. Pulang Berdua

Usai rapat acara rohis, karena pulang ke arah yang sama maka akhwat pulang bersama di mobil ikhwan. Berdua saja. Dan musik yang diputar masih lagu dari Peterpan pula ataupun lagu-lagu cinta lainnya.


2. Rapat Berhadap-Hadapan

Rapat dengan posisi berhadap-hadapan seperti ini sangatlah ‘cair’ dan rentan akan timbulnya ikhtilath. Alangkah baiknya – bila belum mampu menggunakan hijab – dibuat jarak yang cukup antara ikhwan dan akhwat.


3. Tidak Menundukkan Pandangan (Gadhul Bashar)
Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati”. Maka jangan kita ikuti seruan yang mengatakan, “Ah, tidak perlu gadhul bashar, yang penting kan jaga hati!” .

Ini tentu umgkapan yang salah karena ketidk fahamannya tentang bahaya pandangan mata.

4. Duduk/ Jalan Berduaan

Duduk berdua di taman kampus untuk berdiskusi Islam (mungkin). Namun apapun alasannya, bukankah masyarakat kampus tidak ambil pusing dengan apa yang sedang didiskusikan karena yang terlihat di mata mereka adalah aktivis berduaan, titik. Maka menutup pintu fitnah ini adalah langkah terbaik kita.

5. “Men-tek” Untuk Menikah

“Bagaimana, ukh? Tapi nikahnya tiga tahun lagi. Habis, ana takut anti diambil orang.” Sang ikhwan belum lulus kuliah sehingga ‘men-tek’ seorang akhwat untuk menikah karena takut kehilangan, padahal tak jelas juga kapan akan menikahnya. Hal ini sangatlah riskan.


6. Telpon Tidak Urgen

Menelfon dan mengobrol tak tentu arah, yang tak ada nilai urgensinya.


7. SMS Iseng

Saling berdialog via SMS mengenai hal-hal yang tak ada kaitannya dengan da’wah, sampai-sampai pulsa habis sebelum waktunya.


8. Berbicara Mendayu-Dayu

“Deuu si akhiii, antum bisa aja deh?..” ucap sang akhwat kepada seorang ikhwan sambil tertawa kecil dan terdengar sedikit manja dari sang akhwit ( akhwat genit) .


9. Bahasa Yang Akrab

Via SMS, via kertas, via fax, via email ataupun via YM. Message yang disampaikan begitu akrabnya, “Oke deh Pak fulan, nyang penting rapatnya lancar khaaan. Kalau begitchu.., ngga usah ditunda lagi yah, otre deh Senyum manis.” Meskipun sudah sering beraktivitas bersama, namun ikhwan-akhwat tetaplah bukan sepasang suami isteri yang bisa mengakrabkan diri dengan bebasnya. Walau ini hanya bahasa tulisan, namun dapat membekas di hati si penerima ataupun si pengirim sendiri.


10. Curhat

“Duh, bagaimana ya?., ane bingung nih, banyak masalah begini ? dan begitu, akh?.” Curhat berduaan akan menimbulkan kedekatan, lalu ikatan hati, kemudian dapat menimbulkan permainan hati yang bisa menganggu tribulasi da’wah. Apatah lagi bila yang dicurhatkan tidak ada sangkut pautnya dengan da’wah.

11. Berhubungan via chat

YM/FB termasuk fasilitas. Tidaklah berdosa bila ingin menyampaikan hal-hal penting di sini. Namun menjadi bermasalah bila topik pembicaraan melebar kemana-mana dan tidak fokus pada da’wah karena khalwat virtual bisa saja terjadi.

12. Bercanda ikhwan-akhwat

“Biasa aza lagi, ukhtiii? hehehehe,” ujar sang ikhwit (ikhwan genit) sambil tertawa. Bahkan mungkin karena terlalu banyak syetan di sekeliling, sang akhwat hampir saja mencubit lengan sang ikhwan.


Pelanggaran di atas dapat dikategorikan kepada hal-hal yang mendekati zina karena jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan mengarah pada zina yang sesungguhnya, na’udzubillah.

Maka, bersama-sama kita saling menjaga pergaulan ikhwan-akhwat. Wahai akhwat?., jagalah para ikhwan. Dan wahai ikhwan?., jagalah para akhwat. Jagalah agar tidak terjerumus ke dalam kategori mendekati zina.


Lalu bagaimana jika ikhtilat tidak bisa dihindari lagi ? Cara yang paling umum adalah beramal dengan ikhlas, gadhul bashar, puasa, hijab fisik dan jaga hati. Namun, jika itu semua belum juga bisa menundukan pandangan dan membuat hati tenang, maka solusi ini mungkin perlu dicoba, Nikah. Nikah akan mengalihkan pikiran dari pengharapan-pengharapan yang tidak perlu. Pengharapan yang selama ini menghantui telah berwujud menjadi bidadari yang setia menanti di rumah sendiri. Kalaupun ada godaan syetan di tengah jalan, ya, tinggal pulang saja. Di rumah ada yang halal kok.


Seperti yang ana ungkapkan di awal bahwa cinta sejati yang hakiki hanya akan terwujud jika telah melewati gerbang pernikahan ini. Jika belum melewatinya, ana masih menganggapnya syubhat. Sementara syubhat dan snafsu hanya bisa dihalalkan lewat jalur pernikahan.

“Ya Rabbi?, istiqomahkanlah kami di jalan-Mu. Jangan sampai kami tergelincir ataupun terkena debu-debu yang dapat mengotori perjuangan kami di jalan-Mu, yang jika saja Engkau tak tampakkan kesalahan-kesalahan itu pada kami sekarang, niscaya kami tak menyadari kesalahan itu selamanya.


Ampunilah kami ya Allah…. Tolonglah kami membersihkannya hingga dapat bercahaya kembali cermin hati kami. Kabulkanlah ya Allah…. “

Amin....
Baca Selanjutnya...

Dahsyatnya Neraka

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Sebuah seruan dari Dzat Yang Maha Agung kepada orang-orang yang beriman, berisi perintah dan peringatan berikut kabar tentang bahaya besar yang mengancam. Seruan ini ditujukan kepada insan beriman, karena hanya mereka yang mau mencurahkan pendengaran kepada ajakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang dengan perintah-Nya dan mengambil manfaat dari ucapan-ucapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka agar menyiapkan tameng untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga mereka guna menangkal bahaya yang ada di hadapan mereka serta kebinasaan di jalan mereka. Bahaya yang mengerikan itu adalah api neraka yang sangat besar, tidak sama dengan api yang biasa kita kenal, yang dapat dinyalakan dengan kayu bakar dan dipadamkan oleh air. Api neraka ini bahan bakarnya adalah tubuh-tubuh manusia dan batu-batu. Ini berbeda sama sekali dengan api di dunia. Bila orang terbakar dengan api dunia, ia pun meninggal berpisah dengan kehidupan dan tidak lagi merasakan sakitnya pembakaran tersebut. Beda halnya bila seseorang dibakar dengan api neraka, na’udzubillah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka. (Al –Isra’:97)
كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)
لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا
Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan subjudul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]
Orang yang masuk ke dalam api yang sangat besar ini tidak mungkin dapat lari untuk meloloskan diri, karena yang menjaganya adalah para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras(At-Tahrim: 6)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan, “Penjaganya adalah para malaikat Zabaniyah yang hati mereka keras, kaku, tidak mengasihi jika dimohon kepada mereka agar menaruh iba…
Kata شِدَادٌ maksudnya keras tubuh mereka. Ada yang mengatakan, para malaikat itu kasar ucapannya dan keras perbuatannya. Ada yang berpendapat, malaikat tersebut sangat kasar dalam menyiksa penduduk neraka, keras terhadap mereka. Bila dalam bahasa Arab dinyatakan: “Fulanun Syadiidun ‘alaa fulaanin” maksudnya Fulan menguasainya dengan kuat, menyiksanya dengan berbagai macam siksaan.
Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan غِلَاظٌ adalah sangat besar tubuh mereka, sedangkan maksud شِدَادٌ adalah kuat.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jarak antara dua pundak salah seorang dari malaikat tersebut adalah sejauh perjalanan setahun. Kekuatan salah seorang dari mereka adalah bila ia memukul dengan alat pukul niscaya dengan sekali pukulan tersebut tersungkur 70.000 manusia ke dalam jurang Jahannam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 18/218)

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata menafsirkan ayat ke-6 surah At-Tahrim di atas, “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang disebutkan dengan sifat-sifat yang mengerikan. Ayat ini menunjukkan perintah menjaga diri dari api neraka tersebut dengan ber-iltizam (berpegang teguh) terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan bertaubat dari perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya. Sebagaimana ayat ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari api neraka dengan cara memberikan pendidikan dan pengajaran kepada mereka, serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan orang-orang yang di bawah penguasaannya, baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan selain mereka dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pengaturannya.

Dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan neraka dengan sifat-sifat yang mengerikan agar menjadi peringatan terhadap manusia jangan sampai meremehkan perkaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“…yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (At-Tahrim: 6)
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah (patung-patung) adalah bahan bakar/kayu bakar Jahannam, kalian sungguh akan mendatangi Jahannam tersebut.”1

Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Yaitu akhlak mereka kasar dan hardikan mereka keras. Mereka membuat kaget dengan suara mereka dan membuat ngeri dengan penampilan mereka. Mereka melemahkan penghuni neraka dengan kekuatan mereka dan menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap penghuni neraka, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memastikan azab atas penghuni neraka ini dan mengharuskan azab yang pedih untuk mereka.
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkankan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Di sini juga ada pujian untuk para malaikat yang mulia dan terikatnya mereka kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh perkara yang diperintahkan-Nya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)

Penjagaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Keluarganya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai uswah hasanah bagi orang-orang yang beriman telah memberikan arahkan dan peringatan kepada kerabat beliau dalam rangka menjaga mereka dari api neraka. Tatkala turun perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.(Asy Syu’ara: 214)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi bukit Shafa dan menaikinya, lalu menyeru manusia untuk berkumpul. Maka orang-orang pun berkumpul di sekitar beliau. Sampai-sampai yang tidak dapat hadir mengirim utusannya untuk mendengarkan apa gerangan yang akan disampaikan oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memanggil kerabat-kerabatnya, “Wahai Bani Abdil Muththallib! Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Lu’ai! Apa pendapat kalian andai aku beritakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda dari balik bukit ini akan menyerang kalian. Adakah kalian akan membenarkan aku?” Mereka serempak menjawab, “Iya.” Beliau melanjutkan, “Sungguh aku memperingatkan kalian sebelum datangnya azab yang pedih.” (HR Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitakan bahwa ketika turun ayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit seraya berkata, “Wahai Fathimah putri Muhammad! Wahai Shafiyyah putrid Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdil Muththalib! Aku tidak memiliki kuasa sedikit pun di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menolong kalian kelak. (Adapun di kehidupan dunia ini) maka mintalah harta dariku semau kalian.” (HR. Muslim)

Al-Imam Muslim radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa bila hendak shalat witir, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membangunkan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu:
رحم الله رجلاً قام من الليل فصلي ،ثم أيقظ امرأته فصلت،فإن أبت نضح في وجهها الماء،ورحم الله امرأة قامت من الليل فصلت ثم أيقظت زوجها فصلي ،فإن أبي نضحت في وجهه الماء
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (Sanad hadits ini shahih kata Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam tahqiqnya terhadap Al-Musnad)
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun dari tidur beliau. Beliau pun membangunkan istri-istri beliau untuk mengerjakan shalat. Kata beliau:
أيقظوا صواحب الحجر
Bangunlah, wahai para pemilik kamar-kamar (istri-istri beliau yang sedang tidur di kamarnya masing-masing)!” (HR. Al-Bukhari)
Tidak luput pula putri dan menantu beliau juga mendapatkan perhatian beliau. Suatu malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi rumah Ali dan Fathima radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Tidaklah kalian berdua mengerjakan shalat malam?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)
Catatan kaki:
1 Al-Anbiya: 98
(Bersambung Insya Allah)
(Sumber: Majalah Asy Syariah No.51/V/1430 H/2009 Rubrik: Sakinah, Lembar untuk Wanita & Keluarga. Katagori: Mengayuh Biduk. Halaman 78 s.d. 81)
Baca Selanjutnya...

Memilih Teman dalam Menuntut Ilmu

Sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu untuk tidak bergaul kecuali dengan orang yang bisa memberinya faedah (lmu) atau dia (teman tersebut) bisa mengambil faedah (ilmu) darinya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam :
Hendaknya engkau menjadi seorang alim atau orang yang belajar. Jangan menjadi jenis yang ketiga, maka engkau akan binasa.” (HR. Ibnu Abdilbar dalam Kitabul ‘Ilmi)
Bila dia hendak ikut dalam pertemanan atau diajak berteman dengan seseorang yang menyia-nyiakan umurnya, tidak bisa memberinya faedah (ilmu), tidak pula bisa mengambil ilmu darinya, tidak bisa menolongnya untuk urusan yang sedang ditempuhnya (yakni ilmu), maka hendaknya dia dengan lemah lembut memutus jalan pertemanan tersebut dari awal, sebelum hubungan itu menjadi erat. Karena bila sesuatu telah kokoh, akan sulit menghilangkannya. Dan di antara ucapan yang beredar di kalangan fuqaha: “Mencegah lebih mudah daripada menghilangkan.”
Bila dia membutuhkan teman, hendaknya dia memilih orang yang shalih, beragama, bertakwa, wara’, cerdas, banyak kebaikannya lagi sedikit keburukannya, baik dalam bergaul, dan tidak banyak berdebat. Bila dia lupa, teman tersebut bisa mengingatkannya. Bila dia mencoba mengingat, teman ini bisa menolongnya. Bila dia sedang membutuhkan, temannya ini bisa membantu. Bila dia sedang bosan, teman ini bisa menyabarkan dirinya.
(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Ibnu Jamaah Al-Kinani Rahimahullah, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, hal. 83-84)
Disalin dari Majalah Asy Syariah Vol. V/No. 58/1431 H/2010
Baca Selanjutnya...

Siapa Suamimu di Surga?

Oleh: Ust. Abu Muawiah.
Saudariku muslimah, tahukah kamu siapa suamimu di surga kelak?(1)  Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan anti. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1.    Dia meninggal sebelum menikah.
2.    Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
3.    Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.
4.    Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
5.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
6.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.
Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
ý    Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ
“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ
“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)
Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.
Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.
ý    Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.
ý    Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)
Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )
Faidah:
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا
“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?
Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)
Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy.
___________
(1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.
(2) Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1390
Baca Selanjutnya...

Apa Itu Manhaj Salaf?

Oleh  Asy Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Ubailan


POKOK-POKOK MANHAJ SALAF


Dalam Masalah Aqidah/Keyakinan


[1]. Dalam masalah pengambilan I'tiqad (keyakinan) mereka membatasi pengambilan hanya dari Kitabullah (Al Qur'an) dan Sunnah hadits) Rasulullah.


[2]. Mereka berhujjah dalam maslah aqidah dengan hadits-hadits shahih, dan mereka tidak membedakan antara hadits Mutawatir (periwayat haditsnya banyak), dengan hadits ahad (periwayat haditsnya hanya satu). Dan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab mereka, dimana hadits-hadits tersebut terdapat pembicaraan tentang kesahihannya, tidaklah mereka cantumkan (dalam kitab-kitab mereka) untuk menetapkan pokok-pokok atau dasar-dasar, akan tetapi hanyalah untuk memperlihatkannya sebagaimana mereka tulis hadits-hadits itu dengan sanad-sanadnya.


[3]. Mereka (yang berpegang pada metode salaf) memahami nash-nash (teks-teks ayat dan hadits) berdasar dengan perkataan Salafush Shalih, tafsir-tafsir (keterangan-keterangan) Salafush shlaih, dan nukilan-nukilan mereka.


[4]. Menyerah dan tunduk terhadap wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al Qur'an) dan memberikan pada akal pikiran fungsinya yang hakiki, dan tidak mendalami perkara yang ghaib, yang mana akal tidak sampai padanya.


[5]. Tidak memperndalam dalam ilmu kalam dan falsafah serta menolak penakwilan secara ilmu kalam.


[6]. Mengumpulkan di antara nash-nash pada satu masalah.



BEBERAPA KEISTIMEWAAN AQIDAH SALAF YANG DENGANNYA IA TAMPIL BEDA DARI FIRQAH (KELOMPOK) LAINNYA.

[1]. Aqidah Salaf diambil dari “mata air yang jernih” yaitu Al Qur'an dan Al Hadits jauh dari kotoran hawa nafsu dan subhat-subhat (kesamaran-kesamaran) dan tidak ada ta'wil-ta'wil yang dikutip dari luar.


[2]. Aqidah Salaf akan meninggalkan dalam jiwa rasa tenang dan tentram, dan menjauhkan seorang muslim dari keragu-raguan serta dugaan-dugaan.


[3]. Aqidah Salaf menjadikan kedudukan seorang muslim, sebagaimana kedudukan seorang yang mengagungkan Al Qur'an dan sunnah. Karena ia mengetahui bahwa segala apa yang terdapat dalam Al Qur'an dan hadits (yang shahih) adalah haq yang benar dan pada yang demikian itu terdapat keselamatan yang besar, dan keistimewaan yang besar.


[4]. Aqidah Salaf akan membentuk suatu sifat yang telah diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu sifat yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" [An-Nisa : 65]


[5]. Aqidah Salaf akan menghubungkan dan mengikat seorang muslim dengan Salafush Shalih.


[6]. Aqidah Salaf akan menyatukan barisan-barisan kaum muslimin dan menyatukan kalimat mereka, karena aqidah Salaf melaksankan firman Allah.

"Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [Ali Imran : 103]


[7]. Dalam aqidah Salaf terdapat keselamatan bagi orang yang berpegang padanya, serta memasukkannya dalam golongan orang yang mendapat kabar gembira dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kemenangan di dunia, serta keselamatan di akhirat.


[8]. Bahwa berpegang teguh dengan aqidah Salaf adalah salah satu sebab yang terbesar untuk kokoh dalam agama.


[9]. Aqidah Salaf sangat memberi pengaruh yang besar pada perangai dan akhlaq orang yang berpegang teguh padanya. Kemudian aqidah Salaf juga merupakan sebab yang terbesar untuk istiqomah pada agama Allah Subahanhu wa Ta'ala.


[10]. Aqidah Salaf adalah sebab yang terbesar dalam mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan mendapatkan keriadhaanNya kemudian apa telah kita bicarakan ini menggiring kita kepada pembicaraan yang mempunyai hubungan erat dengan pembahasan diatas ; yaitu :


KEKHUSUSAN MANHAJ SALAF

[1]. Kekokohan Salafush Shalih di atas kebenaran dan tidak adanya sikap berpindah-pindah (berbalik) sebagaimana sikap ini adalah adat kebiasaan Ahlul hawa (para pengikut hawa nafsu). Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu:

“Sesungguhnya kesesatan yang benar-benar sesat adalah engkau mengetahui (menganggap baik)apa yang tadinya engkau ingkari, dan engkau mengingakri apa yang tadinya engkau ketahui, hati-hatilah engkau dari sikap yang berganti dalam agama, karena sesungguhnya agama Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu”.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Secara global (dapat dikatakan) kekokohan dan kemantapan pada ahli hadits dan sunnah. Berlipat ganda dari apa yang terdapat pada ahli kalam dan falasifah".


Yang demikian itu sebagai bukti bahwa apa yang menjadi pijakan mereka adalah kebenaran dan petunjuk.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya apa yang terdapat pada kaum awam muslimin dan kalangan Ahlus Sunnah Waljama'ah berupa pengetahuan, keyakinan dan ketenangan, tetapnya dalam kebenaran, perkataan yang kokoh dan pasti, adalah perkara yang tidak dapat di ingkari kecuali oleh orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala lenyapkan akal dan agamanya".


[2]. Sepakatnya Salafush Shalih dalam masalah aqidah dan tidak adanya perselisihan di antara mereka (dalam masalah aqidah) meskipun zaman dan tempat mereka berbeda. Imam Al Asbahani menggambakan sifat ini dengan perkataannya :

"Dan sebagian dalil yang menunjukkan bahwasanya ahli hadits berada di atas al-haq adalah, jika engkau menelaah seluruh kitab-kitab mereka yang ditulis sejak generasi awal hingga generasi akhir, dengan perbedaan negara dan zaman mereka, serta jauhnya jarak tempat tinggal antar mereka, masing-masing mereka tinggal pada benya yang berlainan, kamu akan dapati mereka dalam menjelaskan masalah I'tiqad (keyakinan) mereka berada dalam satu cara dan satu jalan. Mereka berjalan diatas satu jalan dengan tidak menyimpang dan berbelok, perkataan mereka tentang I'tiqad adalah satu, dan keluar dari lisan yang satu. Serta nukilan mereka satu, kalian tidak akan jumpai perbedaan diantara mereka meskipun sedikit. Bahkan jika engkau kumpulkan semua yang pernah terlintas di atas lisan-lisan mereka (yang mereka nukil dari salaf) engkau akan jumpai seakan-akan datang dari hati yang satu dan dari lisan yang satu pula. Maka adakah dalial yang lebih jelas dari yang menunjukkan akan kebenaran (mereka) ?"


[3]. Keyakinan ahli hadits bahwa jalan Salafush Shalih adalah lebih selamat, lebih mengetahui, lebih bijaksana, tidak sebagaimana perkataan yang dida’wahkan ahli kalam, bahwa jalan jalan Salafush Shalih lebih selamat sedangkan jalan khalaf (mereka yang hidup setelah salafus shalih) lebih mengetahui dan lebih bijaksana.

Syaikhul Islam berkata dalam bantahannya terhadap perkara yang dibuat-buat ini : “Sungguh mereka telah berdusta atas jalan Salafush Shalih, dan mereka sesat dalam membenarkan jalan khalaf (mereka yang hidup setelah Salafus Shalih), maka mereka mengumpulkan antara kebodohan terhadap jalan Salafush Shalih dalam berdusta atas mereka dengan kebodohan serta kesesatan dalam membenarkan jalan khalaf”.


[4]. Bahwa Salafush Shalih adalah manusia yang paling tahu pada keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatan dan perkataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh karena itu mereka adalah manusia yang paling cinta terhadap sunnah Nabi dan manusia yang paling bersemangat untuk mengikuti sunnah Nabi, dan manusia yang paling banyak loyalitasnya (pertolongan dan mengikuti) terhadap Ahlus Sunnah.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Jika Rasulullah adalah makhluq yang paling sempurna dengan yang paling mengetahui hakikat-hakikat, dan yang paling lurus perkataannya dan keadaannya, maka sudah pasti manusia yang lebih mengetahui terhadap Rasulullah adalah makhluq yang lebih mengetahui tentang itu semua, dan adalah manusia yang paling banyak kesusaian dengan Rasulullah dan paling banyak menyontoh beliau adalah makhluq yang paling utama”.


Yang demikian itu akan jelas, bahwa para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling berhak dan yang paling pantas untuk menjadi Tha’ifah Al Mansyurah (kelompok yang mendapat pertolongan) dan Firqatun Najiyah (kelompok yang mendapat keselamatan).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Dengan ini akan jelas, bahwa manusia yang paling pantas menjadi Firqah Najiyah (golongan yang selamat) adalah ahli Hadits dan Sunnah, yang mana tidak ada pada mereka manusia yang mereka ta’ashub (fanatik) padanya kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan ahli hadits adalah manusia yang paling mengetahui terhadap perkataan dan keadaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan manusia yang paling mampu membedakan antara hadits yang shahih dan hadits yang tidak shahih”.


Dan Imam-Imam ahli hadits adalah orang-orang yang faqih (mengerti) tentang hadits dan ahli dalam mengetahui makna-makna hadits (mereka) membenarkan, mengamalkan dan cinta (terhadap hadits-hadits itu) dan bersikap loyal (memberikan pertolongan dan mengikuti) terhadap orang yang loyal kepada hadits, dan mereka memusuhi terhadap orang-orang yang memusuhi hadits-hadits.


[5]. Dan yang paling istimewa dari keistimewaan Tha’ifah Al Mansyurah (kelompok yang selamat) adalah semangat mereka dalam menyebarkan aqidah shahihah dan agama yang lurus ini, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para Rasul-Nya membawa agama Islam ini, dan keistimewaan yang lain adalah mengajar dan menunjuki manusia, serta menasihati mereka, disamping itu juga membantah orang-orang yang menyelisihi, serta membantah yang ahli bid’ah.


[6]. Para Salafush Shalih berada pada sikap ditengah-tengah diantara firaq (kelompok-kelompok, Syaikhul Islam Ibnu Tiamiyyah berkata : “Posisi ahli sunnah dalam agama Islam seperti keadaan ahli Islam di antara agama-agama lain”.

Kemudian beliau menjelaskan di tempat lainnya tentang sikap (posisi) ahli sunnah yang berada di tengah-tengah, beliau berkata :


  • [a]. Mereka berada di tengah-tengah dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu antara Ta’til (mereka yang menolak adanya sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan ahli Tamsil (mereka yang menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala), dengan sifat makhlukNya.
  • [b]. Dalam masalah keyakinan terhadap ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka berada di tengah antara kelompok Murji’ah dan kelokpok Qadariyyah dan selain mereka.
  • [c]. Dalam masalah yang membahas iman dan agama berada di tengah antara kelompok Khawarij serta Murji’ah dan Jahmiyyah.
  • [d]. Dalam masalah Shahabat-Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di tengah antara kelompok Syi’ah Rafidhah dan kelompok Khawarij.


[7]. Keistimewaan dari manhaj Salaf (yang lain) adalah sikap para Salafush Shalih yang berpegang teguh pada nama-nama dan istilah-istilah yang berdasarkan syari'at.


[8]. Keistimewaan yang lain, para Salafush Shalih sangat bersemangat untuk berjama’ah serta bersatu, dan mereka menda’wahkan untuk itu, serta menganjurkan manusia padanya, dan membuang sikap perselisihan dan perpecahan, lalu memperingatkan manusia darinya, hal ini bisa dilihat dari nama mereka yang masyhur adalah "Ahlus Sunnah Wal Jama'ah" (orang yang mngikuti Sunnah dan berjama'ah/bersatu) dan hal ini sebagaimana terdapat dalam pokok-pokok ilmu (ajaran mereka), demikian juga hal terwujud dalam kehidupan mereka dengan bukti nyata, diwujudkan dalam kehidupan mereka dengan bukti nyata, diwujudkan dan dan diamalkan.


Selesai dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan shalawat serta salam (kita sampaikan) kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.


[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirrah Al-Islamiyah, edisi Th I/No : 05/1424/2003, Diterbitkan Ma'had Ali Al-Irsyad Jl. Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya, Terjemahan dari Majalah Al-Ashalah edisi 23 hal 33]
Baca Selanjutnya...

Jumat, 15 April 2011

Nasehat Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah

Para pembaca rahimakumullah,
Telah diulas pada edisi yang lalu kisah kehidupan seorang ‘alim yang sangat bersemangat di dalam menuntut ilmu dan beribadah. Juga tentang kesabarannya yang luar biasa di dalam menghadapi berbagai ujian demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Guru beliau, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku keluar dari ‘Iraq. Dan tidaklah aku tinggalkan di kota tersebut seseorang yang paling utama, paling berilmu, paling wara’ dan paling bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Al-Imam Abdurrazzaq Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Tidaklah aku melihat orang yang paling pandai dan paling wara’ daripada Ahmad bin Hanbal.”
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullah berkata: “Tidaklah ada seorangpun yang datang ke Baghdad yang lebih aku cintai daripada Ahmad bin Hanbal.”
Karya-karya tulis beliau rahimahullah sangatlah banyak, diantaranya ada yang berjudul “Fadhail Shahabah”, “Az-Zuhd”, “Kitab Tafsir”, “An-Nasikh wa Al-Mansukh”, “At-Tarikh”, “Ahadits Syu’bah”, dan lain-lain. Yang paling terkenal dari karya-karya beliau adalah “Al-Musnad”. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tidak ada satu kitab musnad pun yang sebanding dengan kitab musnad karya Imam Ahmad dalam hal banyaknya jumlah hadits yang ada di dalamnya dan juga dalam hal bagusnya sistematika penyusunan.”
Pada edisi kali ini kami ingin menampilkan berbagai nasehat dan bimbingan beliau, agar kita dapat mencontoh beliau di dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi.
Amalan yang paling utama
Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad rahimahullah:
“Beritakan kepada kami amalan apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab: “Menuntut ilmu.”
Dia bertanya kembali: “Bagi siapa?”
Beliau menjawab: “Bagi orang yang benar niatnya.”
Dia bertanya kembali: “Apa saja yang bisa membenarkan niat itu?”
Beliau menjawab: “Dengan meniatkan dirinya agar bisa bertawadhu’ dan menghilangkan kebodohan darinya.”
Kewajiban Menuntut Ilmu
“Setiap orang wajib menuntut ilmu yang menjadikan agamanya tegak dengannya.”
Ditanyakan kepada beliau, “Seperti apa halnya?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Yang ia tidak boleh bodoh (tidak berilmu) tentang sholat, puasa, dan lainnya.”
Kemuliaan hati
Sesungguhnya setiap sesuatu memiliki kemuliaan, dan kemuliaan hati adalah ridha kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala .
Mengingat Mati
Bahwasanya Imam Ahmad jika disebutkan tentang kematian maka beliau menangis tersedu-sedu. Dan beliau berkata: “Rasa takut telah menghalangiku untuk menyantap makanan dan minuman.”
Anjuran untuk berusaha
Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad:
“Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di masjidnya kemudian berkata: “Aku tidak akan bekerja apapun sampai rizki itu yang datang sendiri kepadaku.”
Beliau berkata: “Ini adalah seorang laki-laki yang tidak mengetahui ilmu. Tidakkah dia mendengar ucapan Rasulullah: ‘dijadikan rizki-ku di bawah naungan tombakku.’ Dan hadits yang lainnya tentang seekor burung yang di pagi hari dalam keadaan lapar kemudian pergi untuk mencari makan. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (rizki).” [Al-Muzammil: 20]
Zuhud
Zuhud di dunia adalah: pendek angan-angan dan berputus asa (tidak mengharapkan) dari apa yang ada di tangan manusia.
Kemuliaan sahabat Rasulullah
Jika engkau melihat seseorang menyebutkan tentang salah seorang dari sahabat rasulullah dengan kejelekan maka ragukanlah keislamannya.
Merasakan kesenangan
Ada seseorang bertanya kepada beliau: “Kapan seorang hamba akan  merasakan kesenangan?”
Beliau menjawab: “Dia akan merasakan kesenangan tatkala mulai memasuki Al-Jannah (surga).”
Manusia pada hari kiamat
Sesungguhnya Allah membangkitkan para hamba pada hari kiamat atas 3 keadaan:
  1. Orang baik  yang tidak ada jalan untuk menyalahkannya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah: 91]
  2. Orang yang kafir mereka berada dalam An-Naar (neraka), Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Dan orang-orang yang kafir, mereka berada di dalam Jahannam.” [Fathir: 36]
  3. Orang yang berdosa (dibawah dosa syrik), maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka ia akan diadzab, dan jika Allah berkehendak, ia akan diampuni. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni semua dosa yang dibawah dosa syirik bagi siapa yang dikehendakinya.” [An-Nisaa: 48 dan 116]
Hartawan yang zuhud
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki harta sebanyak 1000 dinar, apakah dia bisa dikatakan zuhud?”
Beliau menjawab: “Ya, dengan syarat dia tidak gembira ketika hartanya bertambah dan tidak bersedih ketika hartanya berkurang.”
Menjaga harga diri
Beliau pernah berdoa dalam sujudnya:
“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku dari sujud kepada selain-Mu, maka jagalah wajahku dari meminta-minta kepada selain-Mu.”
Zakatnya ilmu
Beliau pernah ditanya tentang seorang yang banyak menulis hadits, maka beliau memberikan jawaban:
“Seharusnya bagi dia untuk memperbanyak amalan sebatas apa yang dia peroleh dalam mencari hadits tersebut.” Kemudian beliau melanjutkan ucapannya: “Jalannya ilmu itu sama dengan jalannya harta. Sesungguhnya harta itu jika bertambah maka bertambah pula zakatnya.”
Kesempurnaan makanan
Jika terkumpul pada makanan itu 4 hal maka sungguh telah sempurna:
  1. Jika disebutkan nama Allah, pada awalnya.
  2. Memuji nama Allah pada akhirnya.
  3. Memperbanyak jumlah orang yang makan.
  4. Makanan tersebut diperoleh dari jalan yang halal.
Tingkatan-tingkatan Zuhud
Dalam zuhud ada tiga tingkatan:
  1. Meninggalkan yang haram. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang awam.
  2. Meninggalkan sesuatu yang kurang bermanfaat dari perkara yang halal. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang khusus.
  3. Meninggalkan sesuatu yang menyibukkan dari Allah. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang telah mengenal Rabbnya.
Sikap dalam shalat
Beliau pernah ditanya: “Apa makna dari meletakkan tangan yang kanan diatas tangan yang kiri?”
Beliau menjawab: “Merendahkan diri dihadapan Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”
Ketakwaan hati
‘Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata kepadaku, ‘Sebenarnya aku ingin menemanimu  pergi ke Makkah dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk menemanimu kecuali aku khawatir akan membuatmu bosan atau engkau yang membuatku bosan.’
Ali rahimahullah berkata: “Ketika  aku akan berpisah, kukatakan kepadanya: ‘Wahai  Abu ‘Abdillah, berilah aku suatu wasiat?’
Ahmad rahimahullah berkata: “Ya, tetapkanlah ketakwaan itu dalam hatimu, dan tegakkanlah akhirat itu dihadapanmu.”
Bersegera dalam kebaikan
Setiap sesuatu dari kebaikan hendaklah engkau memberi perhatian padanya, kemudian bersegera untuk memperolehnya sebelum terhalang antaramu dengan kebaikan tersebut.
Ringan dalam hisab
Suatu yang sedikit dari perkara dunia maka kelak hisab (perhitungan)nya akan ringan di akhirat
Berkurangnya keimanan
Iman bisa bertambah dan berkurang. kebaikan semuanya adalah bagian dari iman (menambah keimanan -red) dan kemaksiatan dapat mengurangi keimanan.
Semangat belajar
Tidaklah seseorang akan patah semangat di dalam menuntut ilmu kecuali orang yang bodoh.
Keikhlasan
Al-Ikhlas adalah hendaklah amalanmu diniatkan dalam rangka ibadah dan meninggalkan sesuatu yang haram, serta meniatkan setiap kebaikan dan ketakwaan hanya semata-mata ditujukan kepada Allah. Ikhlas adalah ruhnya amalan. Amalan tanpa ruh ibarat mayit. Allah tidak menerima amalan tersebut dan tidaklah dia akan selamat dari api neraka.
Semangat beramal
Tidaklah aku menulis sebuah hadits kecuali aku telah mengamalkannya walaupun cuma satu kali supaya tidak menjadi hujjah pada diriku kelak, sampaipun shalat 2 rakaat Maghrib antara adzan dan iqamat (aku telah mengamalkannya).
Doa beliau
Ya Allah, janganlah Engkau sibukkan hati kami dengan sesuatu yang telah Engkau bebankan kepada diri kami.
Dan janganlah Engkau menghalangi diri kami dari kebaikan yang ada pada-Mu dengan suatu kejelekan yang ada pada diri kami.
Dan janganlah Engkau perlihatkan pada diri kami apa yang telah Engkau larang.
Dan janganlah Engkau luputkan bagi diri kami apa-apa yang telah Engkau perintahkan.
Muliakanlah diri kami dan janganlah Engkau hinakan diri kami.
Muliakanlah diri kami dengan ketaatan dan janganlah Engkau hinakan diri kami dengan kemaksiatan.
Maraji’:
  1. Mawa’izh Al-Imam Ahmad
  2. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 63-66.
  3. Kitab Fadhail Shahabah jilid I
  4. Siyar A’lamin Nubala
  5. Bidayah wa Nihayah
Baca Selanjutnya...
 

Kajian Islam Bontang Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template

KS