Minggu, 29 Mei 2011

Facebook Antara Manfaat Dan Madharat

Semakin hari semakin banyak jejaring social yang bertebaran di dunia internet, mungkin facebook adalah yang paling dikenal pengguna internet. Masing-masing jejaring sosial itu memiliki tujuan, ciri khas dan komunitas tersendiri. Maka sikap kita sebagai seorang Muslim harus berhati hati didalam berinteraksi dengan sarana tersebut , ingatlah teman yang baik itu ibarat penjual minyak kesturi, dan teman yang diibaratkan laksana tukang pandai besi.

DEFINISI FACEBOOK DAN ASAL- USULNYA
Facebook adalah sebuah layanan jejaring sosial dan situs web yang diluncurkan pada Februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook, Inc. Pada Januari 2011, Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Pengguna dapat membuat profil pribadi, Status, menambahkan pengguna lain sebagai teman dan bertukar teman, termasuk pemberitahuan otomatis ketika mereka memperbarui profilnya. Selain itu, pengguna dapat bergabung dengan grup pengguna yang memiliki tujuan tertentu, diurutkan berdasarkan tempat kerja, sekolah, perguruan tinggi, dan karakteristik lainnya.
Nama layanan ini berasal dari nama buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun akademik pertama administrasi universitas di AS dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama lain. Facebook memungkinkan setiap orang berusia minimal 13 tahun menjadi pengguna terdaftar di situs ini.
Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg bersama temannya dan sesama mahasiswa ilmu komputer: Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes. Keanggotaan situs web ini awalnya terbatas untuk mahasiswa Harvard saja, kemudian diperluas di perguruan lain. Situs ini secara perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain sebelum dibuka untuk siswa sekolah menengah atas, dan akhirnya untuk setiap orang yang berusia minimal 13 tahun.[ Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/facebook]
Popularitas dan penggunaan Facebook semakin tumbuh dari hari ke hari. Dari berbagai penjuru, warga dunia menggunkan fasilitas ini, termasuk Indonesia. Sehingga menurut statistik, pada 16 Maret 2009 jam 14.00 WIB, ada 2.235.280 orang yang menyatakan warga Indonesia di Facebook.[ Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka hlm. 9-21 karya Yuniardi Syukur]

MANFAAT DAN MADHARAT FACEBOOK
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abbdurrazak dalam ceramahnya Facebook ini ibarat seperti sebuah pisau, bisa bermanfaat bila digunakan untuk hal-hal bermanfaat tetapi juga bisa membawa bahaya. Facebook bisa digunakan sebagai wadah silaturahmi di dunia maya, berdakwah, menimba ilmu, dan sebagainya. Namun, sebaliknya Fecebook juga bisa digunakan sebagai ajang maksiat. Berikut ini penjelasannya lebih terperinci:
1. Manfaat Facebook
Di antara manfaat Facebook:
  1. Sebagai sarana dakwah.
    Facebook bisa digunakan sebagai sarana dakwah yang bagus di tengah keringnya ilmu dan informasi tentang Islam yang benar, sehingga betapa banyak orang mendapatkan hidayah disebabkan membaca artikel di Facebook atau diskusi di Facebook.
  2. Wadah silaturrahmi.
    Facebook bisa digunakan sebagai wadah untuk menyambung silaturrahmi antara sesama teman, orang tua, kerabat, murid, atau guru dan ajang untuk menceri kawan lebih banyak lagi yang itu hukum asalnya adalah boleh-boleh saja.
  3. Menyimpan file/tulisan.
    Tulisan yang disimpan di komputer bukan tidak mungkin akan hilang saat komputer terkena virus. Akan tetapi, jika disimpan di Fecebook, maka file tersebut tetap akan selamat selama account masih aktif.
  4. Memberikan Informasi kepada orang-orang terdekat disekitar kita attau yang jauh dari kita.
2. Keburukan Facebook
Di antara keburukan Facebook:
  1. Kecanduan
    Banyak dari pengguna Facebook merasa asyik berbalas atau chatting, sehingga mereka menjadi lupa pada waktu, tugas kewajibannya, bahkan ada yang sampai dibuat lalai dari aturan agama gara-gara kecanduan Facebook.
  2. Wadah maksiat
    Banyak dari para pengguna Facebook tidak mengindahkan aturan agama sehingga menjadikan Facebook sebagai wadah maksiat, berupa ghibah, fitnah, gosip, pacaran,khalwat virtual, dan sebagainya.
  3. Gambar foto
    Di antara wabah Facebook yang sangat perlu diperhatikan adalah budaya menampilkan foto-foto pribadi yang jelas akan dilihat banyak orang, bahkan tekadang yang ditampilkan adalah foto-foto seronok yang mengumbar nafsu. Oleh karenanya, bagi para pengguna Facebook hendaknya mengganti foto-foto tersebut dengan foto-foto lain yang tidak bermasalah seperti pemandangan alam dan sejenisnya.

FACEBOOK, HALAL ATAU HARAM?
Booming-nya Facebook menuai kontroversi di kalangan para tokoh agama. Sehingga dahulu pernah diberitakan bahwa pondok pesantren se-Jawa Timur dan Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri mengharamkan pemanfaatan Facebook secara berlebihan seperti mencari jodoh maupun pacaran. Hal ini juga sesuai dengan hasil pembahasan dalam bahtsul masail di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, Kediri, Jatim. Namun, fatwa ini akhirnya menuai protes dari para tokoh moderat, bahkan ada sebagian kalangan menilai bahwa fatwa tersebut “kolot” dan “ketinggalan zaman”.
Sebenarnya tidak ada kontradiksi bila kita mau memadukan antara kedua pendapat tersebut. Sebab, kami rasa kita semua sepakat bahwa Facebook hanyalah sekedar sebuah alat saja, bukan haram secara zatnya, namun semua itu tergantung pada penggunaannya. Maka substansi fatwa para tokoh yang melarangnya seharusnya kita ambil faedahnya yaitu agar penggunaan Facebook bukan untuk kemaksiatan melainakan harus diarahkan kepada yang positif.
Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Pembagian yang benar mengenai sikap dalam menghadapi penemuan modern Barat terbagi menjadi empat macam:
  1. Meninggalkan penemuan modern baik yang bermanfaat maupun berbahaya
  2. Menerima penemuan modern baik yang bermanfaat maupun berbahaya.
  3. Menerima yang berbahaya dan meninggalkan yang bermanfaat.
  4. Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya.
Dengan pembagian penemuan modern menjadi empat ini, ternyata kita dapati bahwa pertama, kedua, dan ketiga adalah batil tanpa diragukan lagi, berarti yang benar hanya satu yaitu keempat.”[ Adhwa’ul Bayan: 4/382]

Tentu saja, Facebook adalah termasuk masalah kontemporer yang tidak ada dalilnya secara khusus. Namun,bila kita telaah kaedah-kaedah fiqhiyyah yang telah mapan, dapat kita temukan beberapa argumentasi yang menunjukkan hukum asal penggunaan Facebook adalah boleh, setidaknya ada dua kaedah fiqih yang bisa kita terapkan untuknya:
  1. Asal segala urusan dunia hukumnya boleh
    Kaidah ini merupakan kaidah yang agung sekali, yaitu bahwa asal semua urusan dunia adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya dan asal semua ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.
    Banyak sekali dalil al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan kaidah berharga ini, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini. Cukuplah dalil yang sangat jelas tentang ini adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    اذا كان شيء من امر دنياكم فشأنكم ٠ واذا كان شيء من امردينكم فالي
    “Apabila itu urusan dunia kalian maka itu terserah kalian, dan apabila urusan agama maka kepada saya.”[ HR. Ibnu Hibban: 1/201 dan sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim]
    Bila ada yang mengatakan, “Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang nonmuslim?” Jawabnya: Sekalipun begitu, bukankah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi ketika Perang Khandaq?! Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah dari orang-orang kafir dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa stretegi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga tatkala shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir dalam masalah dunia dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam hikmah Arab dikatakan:
    اجتن الثمار والق الخشبة في النار
    Ambillah buahnya dan buanglah kayunya ke api.[ al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir: 2/602 oleh Khalid bin Utsman as-Sabt dan Risalah Rof’u Dzull wa Shoghor hlm. 42-45 oleh Syaikh Abdul Malik Romadhoni]
    Maka tidak selayaknya seorang hamba menolak nikmat Alloh tanpa alasan syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharomkan sesuatu tanpa dalil.
  2. Sarana tergantung pada tujuannya
    Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dan berharga sekali.[ Lihat al-Qowa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 13-19 oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di]
    Tidak ragu lagi bahwa dakwah, silaturrahmi, menimba ilmu, dan lainnya merupakan tujuan yang mulia, maka segala sarana yang menuju kepada tujuan tersebut hukumnya seperti tujuannya. Hal ini sama persis dengan hukum menaiki pesawat terbang untuk berangkat haji, menggunakan bom, tank, dan alat-alat canggih modern untuk jihad dan sebagainya; tidak diragukan tentang bolehnya karena alat-alat tersebut merupakan sarana menuju ibadah yang mulia.
Kesimpulannya, bahwa Facebook layaknya alat-alat teknologi lainnya seperti telepon, radio, tipe, dan sebagainya, bisa digunakan untuk menimbulkan kerusakan akidah, pemikiran, akhlak dan sebagainya tetapi ini tidak boleh hukumnya dalam pandangan syariat. Dan bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Maka seyogianya bagi kaum muslimin untuk memanfaatkan alat ini untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi dunia dan akhirat agar dakwah Islam semakin berkembang dan menyebar. Wallohu A’lam.[ Lihat al-Ahkam al-Fiqhiyyah li Ta’amulat Iliktroniyyah hlm. 82 oleh Dr. Abdurrahman as-Sanad]


ETIKA SEORANG MUSLIM BER-FACEBOOK
Facebook adalah jejaring sosial. Itu berarti kita hidup dalam kawasan pertemanan dan pergaulan. Maka etika-etika bergaul harus diperhatikan. Ada beberapa etika yang perlu kami sampaikan kepada pengguna Facebook sebagai nasihat bagi kita semuanya:
  1. Jadikan sebagai ladang pahala
    Hendaknya seorang yang masuk pada situs ini meluruskan niatnya terlebih dahulu, dia benar-benar ingin menjadikan Facebook untuk sesuatu yang bermanfaat sebagai ajang silaturrahmi, berdakwah, menimba ilmu, dan sebagainya.
  2. Mengatur waktu
    Hendaknya pengguna Facebook memahami akan mahalnya waktu. Janganlah ia terjebak dalam kesia-siaan atau terlena keenakan chatting sehingga lalai dari sholatnya, kewajiban, dan tugasnya di rumah atau tempat kerja.
  3. Waspadailah zina mata dan hati
    Dalam Facebook akan di-pasting foto-foto pengguna Facebook lainnya yang terkadang mereka adalah foto-foto lawan jenis. Tidak menutup kemungkinan muncul nafsu birahi dengan melihatnya. Maka hendaknya kita takut kepada Allah dan menyadari bahwa semua itu adalah ujian akan keimanan kita kepada-Nya.
  4. Jagalah kata-kata
    Janganlah kita merasa bebas menulis status atau komentar dan kata-kata di Facebook. Pilihlah kata-kata yang baik dan menyenangkan. Jangan menulis kata-kata yang kotor, fitnah, provokasi, gosip, ghibah (gunjingan), dan sebagainya. Seorang muslim harus menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang dapat menodai keimanannya.
Lihat Beberapa Literatur Tentang Ini
  1. Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka. Yuniardi Syukur. Diva Press, cetakan pertama, Agustus 2009 M.
  2. Al-Ahkam al-Fiqhiyyah li Ta’amulat Iliktroniyyah. Dr. Abdurrahman as-Sanad. Dar al-Warroq, cetakan ketiga, 1427 H.
  3.  Majalah al-Furqon No. 114 edisi II Tahun ke-10 Jumada Akhir 1432 H hlm. 43-45
Baca Selanjutnya...

Minggu, 22 Mei 2011

Mengenal Khilaf Dan Cara Menyikapinya

Al-Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang jamak terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun. Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih “ini adalah masalah khilafiyah”.

Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)

Macam-macam Khilaf

Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.

1. Ikhtilaf tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.

2. Ikhtilaf tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.

3. Ikhtilaf afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam)

Penyebab Perbedaan Pendapat di antara Ulama
 
Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun –yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran. Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat. Kesalahan pasti bisa terjadi, karena manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya. Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa meliputi seluruh perkara.

Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:

1. Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء" artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).
7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.
(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)

Sikap Kita terhadap Perselisihan yang Ada

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki bobot dan dianggap adalah perbedaan pendapat ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya. Bukan mereka yang dianggap atau mengaku ulama namun sebenarnya bukan ulama. Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah, dan lainnya dengan Ahlus Sunnah. Sikap kita terhadap perselisihan ulama adalah:

1. Kita yakin bahwa khilaf mereka bukan karena menyengaja menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan di atas serta sebab lain yang belum disebutkan.
2. Kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dari sisi dalil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seseorang kecuali hanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik jiwa ini menyukainya atau tidak. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada jaminan terbebas dari kesalahan. Sehingga apa yang sesuai dengan hujjah dari pendapat mereka, itulah yang kita ambil dan ikuti. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hujjah maka kita tinggalkan. Sebagaimana wasiat para imam untuk meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil. Di sisi lain, meski kita dapatkan dari mereka adanya pendapat yang salah, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka. Usaha untuk sampai kepada kebenaran telah mereka tempuh, namun mereka belum diberi taufiq untuk mendapatkannya. Jika mereka salah dengan pendapatnya –setelah usaha maksimal– maka tidak ada celaan atas mereka. Bahkan mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sikap hormat dan memuliakan para ulama serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka. (Lihat Kitabul 'Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu)

Bolehkah Mengingkari Pihak Lain dalam Permasalahan yang Sifatnya Khilafiyah?
 
Ada dua hal yang harus dibedakan yaitu, masalah-masalah khilafiyah dan masalah-masalah ijtihadiyah.
Masalah khilafiyah lebih umum sifatnya daripada masalah ijtihadiyah. Karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) ada yang sifatnya bertentangan dengan dalil dari Al-Qur`an, hadits, atau ijma’. Permasalahan khilafiyah yang seperti ini harus diingkari.
Berbeda dengan permasalahan ijtihadiyah yang memang tidak ada nash atau dalil dalam permasalahan tersebut. Dalam masalah ijtihadiyah (yakni yang muncul karena ijtihad pada masalah yang memang diperkenankan berijtihad padanya), seseorang memiliki keluasan padanya. Manakala dia mengambil suatu pendapat yang ia pandang lebih kuat, maka yang menyelisihinya tidak boleh mencela.
Sebagai misal dalam masalah khilafiyah -untuk membedakan antara keduanya- adalah pendapat sebagian ulama yang membolehkan pernikahan tanpa wali nikah. Pendapat ini salah karena bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Al-Irwa` no. 1839)
Ini dinamakan masalah khilafiyah.
Adapun contoh masalah ijtihadiyah seperti bersedekap atau meluruskan tangan setelah bangkit dari ruku’, di mana tidak ada nash yang sharih (jelas) yang menunjukkan posisi tangan setelah ruku’. Wallahu a’lam.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan: “Ucapan mereka (sebagian orang) bahwa masalah-masalah khilafiyah tidak boleh diingkari, ini tidaklah benar. Karena pengingkaran adakalanya tertuju kepada ucapan atau pendapat, fatwa, atau amalan. Adapun yang pertama, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah menyebar maka wajib untuk diingkari menurut kesepakatan (ulama). Meskipun pengingkaran tidak secara langsung, namun menjelaskan lemahnya pendapat ini dan penyelisihannya terhadap dalil juga merupakan bentuk pengingkaran. Adapun masalah amalan jika ia menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan derajat pengingkaran. Bagaimana seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak ada pengingkaran pada masalah yang diperselisihkan, padahal ulama dari semua golongan telah menyatakan secara tegas batalnya keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah, meskipun keputusan tadi telah mengikuti atau mencocoki pendapat sebagian ulama?! Adapun bila dalam suatu permasalahan tidak ada dalil dari As-Sunnah atau ijma’ dan ada jalan (bagi ulama) untuk berijtihad dalam hal ini, (maka benar) tidak boleh diingkari orang yang mengamalkannya, baik dia seorang mujtahid atau yang mengikutinya….” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/252)
Permasalahan ijtihadiyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, seberapapun besarnya permasalahan. Karena jika demikian, kaum muslimin justru akan bercerai berai, tidak punya kekuatan dan menjadi permainan setan dari kalangan jin dan manusia, serta menjadi umpan yang empuk bagi para musuh Islam. Sebagian orang tidak memerhatikan jenis ikhtilaf yang seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama dijadikan dasar untuk memberikan loyalitas karenanya atau memusuhi yang menyelisihinya. Sikap yang seperti ini akan memicu berbagai kerusakan dan kebencian yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahuinya. Hendaklah semboyan kita dalam permasalahan seperti ini adalah berlapang dada, yang mana salafus shalih berlapang dada padanya. Adalah Al-Imam Ahmad rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Al-Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Beliau menjawab: “Bagaimana saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah. (Adabul Khilaf, Hujajul Aslaf dan Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah)

Dianjurkan untuk Keluar dari Lingkup Perselisihan
Ulama fiqih menyebutkan suatu kaidah yang penting yang seyogianya dijadikan pegangan yaitu:
يُسْتَحَبُّ الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ

“Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”
Puncak yang dicapai dari kaidah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati, dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada perkara yang kemudaratannya ringan. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan menyampaikan kepada maslahat yang lebih dominan dan menutup pintu khilaf, maka perkara sunnah ditinggalkan.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan rencana untuk memugar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa membiarkan Ka’bah seperti itu lebih besar maslahatnya, di mana banyak orang Quraisy yang baru masuk Islam dikhawatirkan akan punya anggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghormati kesucian Ka’bah. Dikhawatirkan nantinya mereka bisa murtad dari agama karenanya.
Demikian pula sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhumengingkari Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di saat ia shalat dengan tetap seperti ketika bermukim (tidak qashar) dalam bepergian. Namun Ibnu Mas’ud tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan tidak meng-qashar dan mengikuti khalifah. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu sejak dahulu ulama telah sepakat tentang sahnya shalat orang yang bermazhab Syafi’i di belakang orang yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun mereka berselisih tentang batal atau tidaknya wudhu seseorang bila menyentuh perempuan.
Kemudian yang perlu diperhatikan, dalam perkara yang diperselisihkan keharamannya maka jalan keluarnya adalah dengan meninggalkannya. Sedangkan perkara yang diperselisihkan tentang wajibnya maka jalan keluarnya adalah dengan dikerjakan.
Namun tingkatan untuk dianjurkan keluar dari area khilaf berbeda-beda sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil. Yang menjadi ukuran adalah kuatnya dalil yang menyelisihi. Jika dalil yang menyelisihi lemah maka tidak dianggap, terlebih jika menjaga kaidah ini (karena dalil yang lemah) bisa menyampaikan kepada meninggalkan sunnah yang telah kuat.
Sebagai misal, bila ada yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam shalat menjadikan batal shalatnya. Pendapat seperti ini tidak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat dalam permasalahan ini.
Kemudian juga yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai karena menjaga kaidah ini kita menyelisihi ijma’. Jadi untuk bisa dijalankan kaidah tadi adalah dengan melihat kuatnya dalil orang yang khilafnya teranggap. Adapun bila khilafnya jauh dari dalil syariat atau merupakan suatu pendapat yang ganjil maka tidak dianggap. Orang yang pengambilan dalilnya kuat maka khilafnya dianggap meskipun derajatnya di bawah orang yang diselisihinya. (Diringkas dari Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah karya Ali Ahmad An-Nadawi dari hal. 336-342)

Adab yang harus Diperhatikan untuk Mengobati Perselisihan yang Terjadi di Antara Ahlus Sunnah
Pertama: Niatan yang tulus dan ingin mencari kebenaran. Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap obyektif. Ini mudah secara teori namun susah dalam praktik. Karena tidak sedikit orang yang lahiriahnya seolah menyeru kepada kebenaran, padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya. Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan. Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur`an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kedua: Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
Ketiga: Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.
Hal ini bisa terwujudkan dengan:
1. Berbaik sangka terhadap ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan ukhuwah Islamiah di atas segala kepentingan.
2. Apa yang dinyatakan/keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
3. Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang paling tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada ulama.
4. Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
5. Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
6. Menjauhkan diri dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan huru-hara.
7. Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid hal. 44-47 dan An-Nush-hul Amin Asy-Syaikh Muqbil)

Contoh Penerapan Adabul Khilaf di Masa Salaf
 
Di antara sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu terjadi perselisihan pendapat tentang masalah yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan kakek itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara sahabat Zaid radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama adanya kakek. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sangat yakin bahwa pendapat Zaid radhiyallahu ‘anhu salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah (saling berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.
Pada suatu saat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma melihat Zaid radhiyallahu ‘anhu mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid dan menuntunnya. Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.”
Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid radhiyallahu ‘anhu menciumnya, seraya mengatakan: “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”
Ketika Zaid radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf hal. 21-22)

Penutup
Telah terang atas kita rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah. Yang tak kalah pentingnya bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk ditunjuki kepada kebenaran pada perkara yang diperselisihkan. Kita yakin bahwa kita lemah dalam segala sisinya. Hawa nafsu sering kita kedepankan sehingga jalan kebenaran seolah tertutup di hadapan kita. Kita menghormati para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam iman dan amal serta mendoakan kebaikan untuk mereka.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului dengan keimanan, dan janganlah Engkau jadikan pada hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman, wahai Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Wallahu a’lam.
Baca Selanjutnya...

Selasa, 17 Mei 2011

Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu

Hawa nafsu bermakna kecenderungan dan kecintaan. Ia tidak hanya digunakan untuk menyatakan kecenderungan satu jiwa manusia untuk menyalahi kebenaran akan tetapi ia juga digunakan untuk kecenderungan kepada kebenaran. Ia dianggap menyalahi kebenaran ketika dikedepankan oleh si pemiliknya atau ditempatkan melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, menyalahi batasan-batasan yang telah ditentukan agamanya.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa seluruh kemaksiatan bermula dari mendahulukan hawa nafsu daripada kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah ta'ala telah mensifati orang-orang musyrik dengan mengikuti hawa nafsu di beberapa tempat didalam al Qur’an, demikian pula perbuatan-perbuatan bid’ah. Sesungguhynya hal itu muncul dari mendahulukan hawa nafsu daripada syariat, karena itulah maka orang-orangnya disebut dengan Ahlul Ahwa.
Setiap hawa nafsu baik itu hawa syubhat maupun hawa syahwat membahayakan keimanan seorang hamba dan diwajibkan baginya untuk mencintai apa-apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya serta membenci apa-apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya agar hawa nafsunya mengikuti syariah, dan inilah yang dituntut dari keimanan seorang hamba.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa [4] : 65)
Di antara bahaya mengikuti hawa nafsu terhadap keimanan seorang hamba Allah adalah :
  1. Mengikuti hawa nafsu dapat menghalangi si pelakunya dari berbuat adil didalam hukum dan pergaulan serta akan mendorongnya kepada kezhaliman dan permusuhan. Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa [4] : 135)
  2. Mengikuti hawa nafsu akan mendorong pelakunya melakukan perbuatan bid’ah didalam agamanya dan menjauhi sunnah.وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
    Artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53] : 3–4)
  3. Mengikuti hawa nafsu menyebabkan terhalangnya si pelaku daripada hidayah dan taufiq.وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
    Artinya : “Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al A’raf [7] : 176)
  4. Mengikuti hawa nafsu akan membawa si pelakunya menolak kebenaran dan sesat dari jalan Allah ta'ala bahkan dapat menyesatkan orang lain darinya.فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
    Artinya : “Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qashash [28] : 50)
  5. Yang paling berat adalah bahwa mengikuti hawa nafsu dapat menjadikan si pelakunya kafir dan keluar dari agama islam.وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَّيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِم بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
    Artinya : “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-An’am [6] : 119)
    Pokok dari syahwat dunia didalam diri seseorang ada empat, yaitu : wanita, harta, anak-anak dan jabatan atau kekuasaan, sebagaimana disebutkan didalam firman-Nya :زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
    Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran [3] : 14)
Untuk itu hendaklah setiap mukmin harus ekstra waspada terhadap sikap mengikuti hawa nafsu baik hawa syubhat maupun syahwatnya. Dan diantara yang bisa dilakukan untuk mengalahkan tarikan hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan dirinya agar melakukan maksiat, adalah :
  1. Takut akan adzab dan siksa Allah ta'ala. Karena hal ini merupakan pertahanan yang paling kokoh untuk menghindarinya dari mengikuti hawa nafsu, sebagaimana firman-Nya :وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
    Artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53] : 3–4)
    Al Imam Ibnu Jarir ath Thabari mengatakan,”Adapun siapa yang takut akan pertanyaan Allah terhadap dirinya tatkala ia berdiri dihadapan-Nya pada hari kiamat. Maka bertakwalah kepada-Nya dengan mengerjakan berbagai kewajiban-Nya serta menjauhi berbagai maksiat-Nya. Dia mengatakan, ”Melarang jiwanya daripada hawa nafsunya didalam hal-hal yang dibenci Allah dan tidak diredhoi oleh-Nya serta menghindar darinya. Kemudian menempatkannya kepada hal-hal yang diperintahkan Tuhannya, sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”
  2. Senantiasa meminta pertolongan kepada Allah Yang menggenggam hati hamba-hamba-Nya. sesungguhnya Allah telah menjanjikan hidayah kepada orang-orang yang meminta petunjuk kepada-Nya, sebagaimana disebutkan didalam hadits qudsi, ”Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kesesatan, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk. Oleh karena itu, mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu!” (HR. Muslim)
  3. Berlindung kepada Allah dari kejahatan hawa nafsu dan syahwat jiwa. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa, sebagaimana disebutkan didalam hadits Khutbah al Hajah, ” Dan kami berlindung kepadanya dari kejahatan jiwa kami dan kejelekan perbuatan-perbuatan kami.” (HR. Nasai),  (dari kitab : Min Mu’awwiqat ad Da’wah ‘Ala Dhaui al Kitab wa as Sunnah)
Baca Selanjutnya...

Kamis, 12 Mei 2011

Kisah Khusnul Khatimah Yang Menakjubkan

(Abu Ja’far at-Tustari) berkata : Kami menghadiri Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah di Masyahran, ketika itu beliau sedang dalam keadaan sakaratul maut. Disisinya ada Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, al-Mundzir bin Syadzan dan sekelompok para ulama, mereka menyebut-nyebut hadits talqin dan dan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam : "Laqqinuu mautakum lailaaha illallah." (Artinya : talqinlah orang yang akan meninggal diantara kalian : Laa ilaha illallaah.) [HR Muslim]
Mereka malu terhadap Abu Zur’ah dan segan untuk mentalqinnya, akhirnya mereka berkata : "Mari kita menyebut hadits ini (dengan sanadnya)." Maka Muhamad bin Muslim berkata : "Telah menceriterakan kepada kami adh-Dhohak bin Makhlad, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih, dan dia tidak meneruskannya. Abu Hatim menggantikannya : "Telah menceriterakan kepada kami Bundar, menceriterakan kepada kami abu ‘Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih, tetapi beliau juga tidak meneruskannya. Dan mereka semua terdiam.
Tiba-tiba Abu Zur’ah rahimahullah yang tengah sakaratul maut itu berkata : "Telah menceriterakan kepada kami Bundar, menceriterakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih bin Abi ‘Arib, dari Katsir bin Murrah al-Hadzrami, dari Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : Man kaana akhiru kalamihi laailaaha illallaahu, dakholal jannah. (Artinya : "Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa ilaaha illallaah, maka dia akan masuk surga."
Setelah itu Abu Zurah rahimahullah langsung meninggal dunia.
[Tarikh al-Bagdad, al-Khotib al-Bagdadi file sahab.org vol 10]
Baca Selanjutnya...

Rabu, 11 Mei 2011

BAHAYA HASAD DAN SOLUSINYA

BAHAYA HASAD DAN SOLUSINYA
Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, dan aku bersaksi bahwa tiada Rab yang berhak disembah dengan sebenarnya
selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.. Amma Ba’du:

Di antara sifat tercela yang dilarang oleh syara’ adalah hasad, inilah penyakit laten yang banyak menimpa umat ini,bahkan tidak jarang pula terkadang menimpa para penuntut ilmu syar’i.Na’udzubillah min dzalik.
Maka dari itu perlu kita mengetahui secara mendalam tentang bahaya hasad ini agar kita terjauh darinya.Berkata seorang penyair;

عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه         ومن لم يعرف الشر يقع فيه                
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk dimalkan akan tetapi untuk ditinggalkan.
Barangsiapa yang ttidak mengetaui keburukan maka dia akan jatuh kedalamnya”.

DEFINISI HASAD
Hasad dikenal dalam bahasa Indonesia dengan iri atau dengki.
Al-Ragib berkata, “Hasad adalah berangan-angan agar nikmat itu hilang
dari orang yang berhak menerimanya, bahkan mungkin angan-angan itu
dibarengi dengan aksi untuk menghilangkan nikmat tersebut.[ Mufrodat Al-Fazil Qur’an, halaman: 116]
Imam Ibnul Manzhur rohimahulloh berkata : “Hasad adalah engkau berangan-angan hilangnya nikmat orang yang engkau dengki.” (Lisanul Arab, Ibnul Manzhur 3/148, at-Ta’riifat, Ali al-Jurjani hlm.87]
Syaikhul Islam Ibni Taimiyyah berkata : “Yang benar, bahwa hasad adalah sekedar membenci apa yang dia lihat dari keutamaan dan kebaikan orang yang dia dengki.” (Majmu’ Fatawa 10/111)
Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata : “Sudah diketahui bersama, bahwa orang yang sekedar benci dia akan berangan-angan hilangnya nikmat orang yang dia dengki. Walhasil, sekedar engkau membenci kenikmatan Alloh yang diberikan pada seseorang, maka engkau orang yang hasad.” (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah hlm. 339)
HUKUM HASAD
Hasad adalah perkara yang diharamkan dalam Islam karena ini merupakan perangai Iblis. Sebagian salaf mengatakan : “ Hasad adalah dosa pertama kali yang muncul dalam memaksiati Alloh di langit. Yaitu hasadnya Iblis kepada Adam. Dan juga dosa pertama kali yang muncul dalam memaksiati Alloh di bumi, yaitu hasadnya anak Adam kepada saudaranya ketika membunuhnya. (Adab Dunya wa Dien halm. 424).Dan hasad adalah sifat dasar orang-orang yahudi.Allah ta’ala berfirman:
ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد إيمانكم كفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق
Artinya:”Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri setelah nampak bagi mereka kebenaran”. (QS. Al-Baqarah: 109)
. Alloh azza wa jalla berfirman :
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا

Artinya:”Apabila kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. (QS. Ali Imron  : 120)
Alloh memerintahkan kita untuk berlindung dari kejelekan hasad.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Dan dari kejahatan pendengki apabila ia dengki (QS. Al-Falaq (113) : 5)
Cukuplah hal itu sebagai tanda akan jeleknya perangai hasad. Andaikan celaan itu bukan karena hasad adalah akhlak yang rendahan yang bisa mengenai kerabat dan teman, terutama ketika bergaul dan berteman, sungguh berlepas diri dari hal itu adalah kemuliaan. Dan sungguh selamat dari hal itu adalah keberuntungan. (Adab Dunya wa Din al-Mawardi hlm. 425)
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
لاَ تَحَاسَدُوا
Janganlah kalian saling dengki (HR.Muslim : 2564)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rohimahulloh berkata : “Hasad ada tiga tingkatan :
pertama : Berangan-angan untuk melebihi orang lain. Maka ini boleh, bukan hasad.
Kedua : Membenci nikmat Alloh yang diberikan kepada orang lain. Akan tetapi dia tidak berusaha untuk menghilangkan nikmat itu dari orang yang ia dengki. Bahkan selalu berusaha untuk menolak dan melawan gejolak hasadnya. Hasad semacam ini tidak membahayakan, sekalipun yang lainnya lebih sempurna.
Ketiga : Hatinya terjangkiti penyakit hasad, dan dia berusaha menurunkan martabat orang yang ia dengki, maka ini adalah hasad yang diharamkan. Pelakunya terkena dosa.” (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah hal. 343)
SEBAB-SEBAB HASAD
Imam al-Mawardi rohimahulloh berkata : “ Sebab pendorong hasad ada tiga perkara :
Pertama : Kebenciannya terhadap orang yang dia dengki. Dia merasa sakit hati dengan keutamaan yang diperoleh orang lain, dari sinilah hasadnya timbul.
Kedua : Orang yang ia dengki mempunyai keutamaan dan kelebihan yang tidak bisa ditandingi oleh pelaku hasad tersebut. Dia benci apabila saingannya maju, dan berhasil. Jenis hasad ini adalah hasad yang pertengahan. Karena ia tidak hasad pada orang yang selevel atau yang lebih rendah darinya, dia hanya hasad pada orang yang lebih tinggi dan berhasil darinya.
Ketiga : Orang yang hasad bakhil terhadap nikmat yang ia peroleh. Padahal nikmat itu bukan usahanya. Maka apabila dia melihat orang lain mendapat nikmat Alloh, dia akan benci, iri dan dengki dari hal tersebut. Secara tidak sadar ia telah menentang ketentuan Alloh. Ini adalah jenis hasad yang paling jelek.” (Adab Dunya wa Din hlm 426)
Maka tatkala hasad ini sudah mulai menjangkiti hati kita kita harus sigap dan tidak membiarkannya terus tumbuh dan bersemi.Karena ia laksana tanaman yang tumbuh besar karena disiranm dengan air.
Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan : “Karena itu dikatakan : tidak ada satu jiwapun kecuali terjangkiti penyakit hasad, tetapi orang yang mulia adalah orang yang menyembunyikannya, sedangkan orang yang tercela adalah yang menampakkannya.” (Majmu’ Fatawa 10/ 124)
 Malapetaka dan bahaya hasad
Orang yang hasad secara sadar maupun tidak telah terjatuh dalam beberapa perkara dan malapetaka yang tidak bisa dianggap ringan :
Pertama : Membenci takdir Alloh, karena apabila dia benci terhadap apa yang Alloh berikan kepada orang lain, pada hakekatnya penentangan terhadap takdir Alloh juga. Sebagian salaf berkata : “Barang siapa yang ridho terhadap ketentuan Alloh, tidak ada seorangpun yang benci padanya. Barangsiapa yang qona’ah terhadap pemberian Alloh, rasa hasad tidak akan masuk padanya.( Adab Dunya wa Dien, al-Mawardi hlm. 425)
Kedua : Hasad menghapus kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar. Karena pada umumnya, orang yang hasad akan menganiaya orang yang ia dengki. Dia akan menyebutkan sesuatu yang dibencinya, menghasud manusia agar menjauhinya dan lain-lain. Ini adalah dosa besar yang menghapuskan kebaikan.
Ketiga: Orang yang hasad akan merasa sesak dada ketika melihat orang lain mendapat nikmat. Acapkali kita melihat orang dengki hatinya gundah, sedih dan dadanya sesak. Dia akan selalu mengawasi saingannya, kesedihan adakn bertambah dan dunia terasa sempit bila saingannya mendapat nikmat.
Keempat : Hasad adalah akhlak orang yahudi. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آَتَيْنَا آَلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآَتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا
Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Alloh berikan kepadanya? Sesungguhya kami telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar (QS. An-Nisa [4] : 54)
Dan sudah kita maklumi bersama, bahwa orang yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaumnya. Berdasarkan sabda nabi yang berbunyi :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia ternmasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud ; 4031, Ahmad 2/50, Syaikhul Islam berkata dalam Majmu Fatawa 5/331 : “Sanadnya bagus.” Imam Suyuthi menghasankannya dalam al-Jami’ Ash-Shoghir : 6025, oleh al-Albani)
Kelima : Sekuat apapun hasadnya, tidak mungkin menghilangkan nikmat Alloh yang telah Dia berikan kepada orang lain. Lantas mengapa hasadnya masih mengurat dalam hati?
Keenam : Hasad menafikan kesempurnaan iman. Berdasarkan sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang berbunyi :
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya. (HR. Bukhori : 13, Muslim : 45)
Kelaziman hadits ini, seharusnya engkau benci apabila nikmat Alloh hilang dari saudaramu, bukan malah senang. Apabila engkau senang nikmat Alloh hilang darinya, berarti engkau belum mencintai saudaramu apa yang dicintai oleh dirimu sendiri. Dan hal ini jelas mengurangi kesempurnaan iman.
Ketujuh : Hasad akan menyeret pelakunya berpaling meminta keutamaan dari Alloh. Orang yang hasad akan selalu mengawasi nikmat Alloh yang diberkan kepada orang lain, sementara dirinya sendiri lupa meminta keutamaan dari Alloh. Alloh berfirman :
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْن وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍعليما
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Alloh kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Alloh sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa:32)
Kedelapan : Hasad akan membawa peremehan terhadap nikmat Alloh. Orang yang hasad akan melihat dirinya seakan-akan tidak memperoleh nikmat sedikitpun. Dia selalu melihat bahwa orang yang dia dengki berada dalam nikmat yang besar. Akibatnya secara tidak langsung dia telah meremehkan nikmat Alloh dan lupa bersyukur kepada-Nya.
Kesembilan : Hasad adalah akhlak tercela, karena selalu mengawasi nikmat Alloh yang diberikan kepada orang lain. Dia selalu berusaha mengajak kebanyakan manusia untuk menjauhi orang yang dia dengki.
Kesepuluh : Orang yang hasad, pada umumnya akan menyakiti orang yang dia dengki.Hal itu membuat amalannya menjadi bangkrut. Kebaikannya akan diambil oleh orang yang dia dengki. Kebaikannya akan habis, selanjutnya kejelekan orang yang dia dengki akan dilimpahkan kepadanya, kemudian dia akan dicampakkan ke neraka.Wal’iyadzubillah.
Terapi Penyakit Hasad
1.Ilmu yang bermanfaat
Dengan Ilmu yang dimiliki dia akan menyadari bahwa hasad hanya  akan membahayakan dunia dan agamanya. Bahaya bagi agamanya karena dengan hasad dia akan menentang takdir Alloh. Bahaya bagi dunianya, karena hati orang yang hasad akan merasakan pedih manakala orang lain mendapatkan nikmat.
Manshur Al-Faqih berkata:
Katakanlah kepada orang yang dengki kepadaku,
tahukah kamu kepada siapa kamu tidak beradab?.
(sebenarnya) kamu tidak beradab kepada Allah ta’ala dalam pemberian-Nya
(karena) kamu tidak rela dengan apa yang telah diberikan oleh-Nya
( Nihayatul Arab Fi Fununil Adab Juz3/ Hal 267)

Imam Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan “Sungguh Alloh telah mengabarkan tentang suatu kaum yang mereka diberikan ilmu akan tetapi ilmunya tidak memberikan manfaat baginya. Maka ini adalah ilmu yang bermanfaat pada sendirinya, akan tetapi pemiliknya tidak bisa memanfaatkannya.” (Fadhl Ilmi Salaf Ala Ilmi Kholaf hlm. 7)
Alloh berfirman :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ  مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعُ هواه



“ Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (Pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah. (QS. Al-A’rof [7] : 175-176)
2.Taubat
Taubat adalah hal yang sangat menakjubkan. Menghapus dosa sehingga tidak tersisa sedikitpun. Taubat yang nasuha(sejati),adalah dengan menyesali dosa hasadnya, meninggalkan dan bertekat untuk tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang. Apabila hasad muncul bersegeralah minta ampun kepada Alloh, berdoalah agar kedengkian dalam dada hilang.
3. Berfikir positif dan merenungi akibat jelek hasad
Karena dengan demikian dia akan menahan jiwanya dari hasad kepada orang lain. Menyadari bahwa hasad tidak membawa kebaikan sedikitpun.
4. Terimalah taqdir Alloh dengan lapang dada
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ
“Terimalah apa yang Alloh berikan padamu, niscaya engkau menjadi manusia yang paling kaya. (HR. Tirmidzi 2305, Ahmad 2/310. Dihasankan oleh Al-Albani dalam ash-Shohihah n0.930)
Ibnu Sirin rohimahulloh mengatakan : “ Aku tidak pernah hasad kepada seorangpun dalam urusan dunia. Karena apabila ia ahli surga, bagaimana mungkin aku hasad padanya dalam urusan dunia yang itu tidak ada nilainya di surga nanti. Apabila ia termasuk ahli neraka , maka bagaimana mungkin pula aku hasad padanya dalam urusan dunia sedangkan dia akan masuk neraka? (Ihya ulumuddin 3/1973)
5. Doakan saudaramu
Apabila hatimu terjangkiti hasad, maka doakanlah kebaikan pada orang yang engkau dengki dengan taufiq. Karena doa akan menimbulkan keajaiban, merubah keadaan yang buruk menjadi baik. Pertanda bahwa dirinya tidak dengki dan tidak ada tujuan kecuali kebaikan bagi saudaranya.
 Dari Abuddarda’ rahiyallahu ‘anhu.Bahwasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Doa seseorang Muslim kepada saudaranya di luar adanya yang didoakan itu adalah mustajab - yakni dikabulkan. Di sisi kepalanya ada malaikat yang diserahi untuk itu. Setiap ia berdoa untuk saudaranya itu dengan kebaikan, maka malaikat yang diserahi itu berkata: Amin - semoga Allah mengabulkan doamu itu - dan engkaupun memperoleh sebagaimana yang engkau doakan itu.” (Riwayat Muslim).
6.Cintailah saudaramu karena Allah
Cintailah saudaramu karena Alloh, mulailah dengan bertanya kepada dirinya, agar hasad dalam jiwa hilang dan orang yang kita dengki menjadi orang yang kita senangi. Karena apabila seorang teman sudah senang dan mencintai saudaranya, sudah barang tentu rasa hasadnya akan berkurang dan hilang. Cobalah, barangkali usaha ini tampaknya sulit, akan tetapi mujarab. Ingatlah selalu firman Alloh yang berbunyi :
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيم  
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushilat[41] : 34)
7.Melakukan kunjungan
Kunjungan seorang muslim terhadap saudaranya merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang.
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ زَارَ أَخًا لَهُ فِي الله ناداه مناد أن طبت وطاب ممشاك وتبوأت من الجنة منزلا
siapa yang menjenguk orang sakit, atau mengunjungi saudaranya karena Alloh, maka dia akan dipanggil dari atas langit : Semoga engkau menjadi baik, baik pula perjalananmu dan engkau meraih kedudukan di surga.” (HR. Tirmidzi 1931, Ibnu Majah 1443. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Al-Misykah 1575. Lihat pula Shohih al-Jami’ 6387)
8.Meminta nasehat darinya
Karena apabila engkau minta nasehat pada orang yang hasad padamu, berarti engkau telah menanamkan nilai kecintaan dan pengagungan dalam dirinya. Hal ini akan membantu hilangnya penyakit hasad pada dirinya.
Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata : “Tiga perkara yang aku tidak dapat membalasnya kecuali doa  : Seorang yang masuk menemuiku dalam suatu majelis, dia berdiri dengan senyum dan gembira. Seorang yang memberi kelapangan kepadaku dalam majelis. Seorang yang tertimpa masalah, kemudian dia minta pendapatku. Mereka adalah orang-orang yang aku tidak dapat membalas kebaikannya kecuali dengan doa.” (Ma’alim Fi Thoriq Tholibil Ilmi, Dr. Abdul Aziz as-Sadhan hlm 103)
9.Menyadari bahaya hasad
Nabi shallallahu’alihi wasallam bersabda,yang artinya
“Akan menjalar kepadamu suatu penyakait yang menjalar kepada umat sebelummu,yaitu hasad dan kebencian.Kebencian itu mencukur,aku tidak katakan mencukurrambut,akan tetapi mencukur agama.Demi(Allah) yang jiwaku berada ditangannya,sesumgguhnya kalian tidak masuk sorga sampai beriman,dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai.Maukah aku ceritakan dengan suatu hal yang menguatkan kecintaan diantara kalian?sebarkanlah salam diantara kalian”.( HR at-Tirmidzi, no. 2510.Dan dihasankan oleh syaikh Al Albani)
10.Memurnikan tauhid. Makhluk-makhluk ini ada yang menggerakkannya. Tidaklah makhluk mendapatkan manfaat dan mudarat kecuali seijin Penciptanya. Jika seseorang memurnikan tauhid maka hilanglah ketakutan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hatinya. Musuhnya menjadi lebih ringan di matanya daripada ditakuti bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan keluar dari hatinya kesibukan memerhatikan musuhnya, lalu hatinya akan dipenuhi dengan cinta, takut, kembali, dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia memandang bahwa menggunakan pikirannya untuk memikirkan musuhnya adalah bentuk lemahnya tauhid. Karena, jika ia telah memurnikan tauhid, niscaya dalam hatinya ada kesibukan tersendiri.

HASAD YANG DIPERBOLEHKAN?
Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan?, jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
لا حسد إلا في اثنتين رجل أتاه الله مالا فسلطه على هلكته في الحق ورجل اتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها                                    
Artinya: Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang, yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah ta’ala dan ia habiskan dijalan yang benar, yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah ta’ala dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya. (HR.Muttafaq alaih) .
Akan tetapi hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan diatas, hasad yang ini disebut oleh para ulama’ dengan sebutan Ghibtah yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa benci kepada orang tersebut, serta tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
Syeikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafidzahullah dalam menjelaskan hadits diatas berkata; “yang dimaksud hasad disini adalah ghibtah”. Syarah Sunan Abu Dawud, hadits “Iyyakum walhasada” (Maktabah Syamilah 3).
Imam An-nawawi rahimahullah mengatakan, “ghibtah adalah ingin mendapat kenikmatan sebagimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh), jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah), dan makna hadits diatas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah) kecuali pada dua perkara (yang tersebut diatas) dan yang semakna dengannya.
( Al-minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj :Juz. 6/ Hal. 97)
Inilah sahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bersedekah, bersamaan dengan saat di mana aku punya harta. Aku menyatakan: Hari ini aku akan saingi Abu Bakr jika aku bisa menyainginya pada suatu hari.’ ‘Umar berkata: ‘Aku datang membawa setengah hartaku.’ ‘Umar berkata lagi: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadaku, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’ Aku berkata, ‘Harta yang semisalnya.’ Lalu datanglah Abu Bakr membawa semua yang dimilikinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakr, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’ Dia menjawab, ‘Aku sisakan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Maka aku (‘Umar) berkata: ‘Aku tidak akan menyaingimu dalam sesuatu pun selama-lamanya.’
Apa yang dilakukan ‘Umar adalah bentuk berlomba-lomba (dalam kebaikan) dan hasad yang diperbolehkan. Namun keadaan Abu Bakr lebih utama darinya, karena ia terbebas dari menyaingi orang lain secara mutlak. Ia tidak melihat kepada orang lain (ketika berinfak).
Demikian pula Nabi Musa ‘alaihissalam (seperti) dalam hadits Isra` Mi’raj. Muncul dalam dirinya keinginan menyaingi dan iri kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati Nabi Musa ‘alaihissalam, Nabi Musa ‘alaihissalam menangis. Ia ditanya: ‘Apa yang menyebabkanmu menangis?’ Musa berkata: ‘Aku menangis karena ada seorang pemuda –yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang diutus sepeninggalku, umatnya yang akan masuk surga lebih banyak daripada umatku’.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, 10/113-117)
Nasehat Bagi Para Penuntut Ilmu Syar’i Untuk Menjauhi Hasad
Para penuntut Ilmu adalah oramg-orang yang harus lebih waspada dari pada yang lain.Dikarenakan mereka adalah tauladan di masyarakatnya,maka apabila sesama thalibul ilmi(penuntut ilmu) saling hasad yang terjadi adalah keburukan yang besar.Apa fumgsinya mereka mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatn hasad akan tetapi diantara mereka sendiri saling hasad.
Ibnu Mâjah, Ibnu ‘Asâkir dan al-Fasawî meriwayatkan di dalam Târikh-nya,
dan al-Baihaqî di dalam asy-Syu’ab dan hadits ini dinilai valid (shahîh) oleh
al-‘Albânî –semoga Alloh merahmatinya- bahwa Rasulullah ‘alaihi ash-
Sholâtu was Salâm pernah ditanya : “Manusia bagaimanakah yang paling
utama (afdhal)?” Beliau menjawab :
أفضل الناس صاحب القلب المخموم صدوق اللسان             
 Manusia yang paling utama adalah yang memiliki hati yang bersih dan
lisan yang jujur.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, adapun lisan yang jujur kami
telah mengetahuinya. Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan orang
yang memiliki hati yang bersih?
Beliau menjawab :
هو قلب التقي النفي لا إثم فيه ولا بغي ولا غل ولا حسد          
Dia adalah hati yang putih lagi murni, tidak ternodai oleh dosa, aniaya,
dendam dan dengki.”
Hadits ini menjelaskan kepada kita akan keutamaan (afdhalîyah) yang ada
pada orang-orang beriman. Yaitu siapa saja yang hatinya bersih dari rasa
dendam dan dengki terhadap saudaranya, maka ia berada di atas kebaikan
yang besar dan berada di atas keutamaan
.Wallahu a’lam
Baca Selanjutnya...
 

Kajian Islam Bontang Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template

KS